Senin, 08 Mei 2023

Untuk Diriku

Mei 08, 2023 0 Comments

 Untuk diriku,


Nggak usah kecewa dengan apapun hasilnya nanti. Karena apa yang udah digariskan dalam takdir nggak pernah salah. Kalau dalam skenario hidupmu kamu harus mengalami kegagalan ini, ya sudah, terima saja. Asal ke depannya semua ini bisa menjadi pelajaran agar lebih baik. Menjadikan kegagalan yang telah lalu sebagai pemantik semangatmu mencapai tujuanmu yang lain.

Kalau kamu bilang kamu sudah melakukan yang terbaik, itu bohong. Kamu bohong. Nyatanya, usahamu tidak sekeras orang-orang di luar sana. Nyatanya kamu masih terus melayani rasa malasmu dan membiarkan waktumu terbuang cuma-cuma. Jangan jadikan kalimat "aku sudah melakukan yang terbaik" hanya untuk menghibur diri dan mengulangi hal yang serupa di kemudian hari. Kemudian jika gagal lagi, kamu bilang lagi "aku sudah melakukan yang terbaik" namun kamu tidak melakukan perbaikan apa-apa untuk kedepannya. Dan begitu seterusnya siklus kehidupanmu.

Kalau begitu, kapan mau menjadi lebih baiknya?



Jumat, 25 November 2022

Lauterbrunnen in Memories - 10 (End)

November 25, 2022 0 Comments




Sesuai janji, Tirta ingin menunjukkan lukisan pasangan berusia lanjut yang pernah dijanjikannya kepada Aylin. Baru kemarin malam Tirta bisa menyelesaikan lukisan itu setelah beberapa hari mereka lalui. Taman dekat Air Terjun Staubbach menjadi saksi bisu atas perpisahan mereka yang tinggal menghitung jam.

Pagi-pagi sekali, Tirta dan Aylin memiliki janji bertemu di taman tersebut. Tidak ada rasa canggung yang keduanya rasakan, bahkan setelah peristiwa kemarin. Entah mengapa, dengan jujurnya perasaan Tirta membuat beban yang ada dalam diri laki-laki itu terangkat. Walaupun Tirta tak bisa mengutarakan rahasia terpendamnya soal wajah Aylin yang mirip dengan lukisannya, setidaknya dia bisa lebih jujur soal perasaannya.


Tirta mengeluarkan lukisan seukuran buku tulis kampus, kemudian memberikannya pada Aylin. Perempuan itu menerimanya dengan senang hati. Pandangannya tak lepas dari lukisan indah itu.


"Kamu suka?" tanya Tirta terdengar samar-samar, kalah dengan suara air yang jatuh dari ketinggian di belakangnya.


"Suka, Ta. Bagus--"


"Luar biasa," Aylin mengoreksi ucapannya sendiri. Kemudian tersenyum kepada Tirta.


Setelah puas melihat, Aylin memberikan kembali lukisan itu kepada Tirta, namun tangan Tirta tak kunjung menyambut uluran tangannya.

"Buat kamu aja, Lin," kata laki-laki itu. "Sebagai tanda perpisahan dari saya."

Aylin menarik tangannya kembali. Dia memandang lukisan itu sambil mengucap, "Makasih, ya, Ta. Lukisan kamu bakal aku jaga dengan baik."

"Sama-sama."

Tirta baru ingat sesuatu. Dia belum mengembalikan foto polaroid milik Aylin yang dipinjamnya dulu. Lantas dia mencari foto itu dalam tasnya dan memberikan pada Aylin.

Aylin menggeleng cepat, mendorong tangan Tirta dengan perlahan. "Buat kamu aja. Sebagai tanda perpisahan juga."

"Makasih, ya, Lin."

"Aku yang harusnya berterima kasih banyak sama kamu."

Mereka menghabiskan sisa waktu yang mereka punya dengan sebaik-baiknya. Percakapan mengalir tanpa membiarkan kesunyian masuk di celah-celah mereka. 

"Tirta," panggil Aylin. Laki-laki itu langsung memusatkan atensinya pada Aylin. 

"Aku mau jujur sama kamu," sambung Aylin, mengambil kesempatan dari diamnya Tirta untuk melanjutkan kalimatnya.

"Aku ... juga suka sama kamu, Ta."

Baru hari ini, Aylin berani mengungkapkan isi hatinya setelah kemarin benaknya sibuk mencerna momen-momen yang terjadi. Bahkan Aylin kesulitan karenanya. Ada perasaan yang tak dapat didefinisikan. 

Lengkungan manis menggantung di bibir laki-laki itu setelah mendapat pengakuan dari Aylin. Dia tidak melakukan apa-apa selain itu.

"Tapi, satu hal yang harus kamu tau, Lin. Saya nggak pernah mau mengikat seseorang dalam sebuah hubungan, kecuali pertemanan dan pernikahan. Karena menurut saya, kalau saya belum sah menjadi milik seseorang, maka saya nggak berhak mencampuri kehidupan orang itu."

Aylin mengangguk setuju. Dia pun kurang lebih berprinsip seperti itu. Buat apa gonta-ganti pacar kalau ujung-ujungnya cuma jagain jodoh orang? Lebih baik pilih yang pasti untuk dijadikan pendamping hidup selama-lamanya.

Ucapan Tirta membuat dadanya berdesir halus. Laki-laki itu sangat menghargai seseorang, terutama perempuan. Layaknya menghargai mendiang ibunya yang sudah berada di pangkuan Tuhan.

"Kita teman, kan?" tanya Aylin memastikan, sembari mengacungkan jari kelingkingnya kepada Tirta. 

Tirta menaikkan kedua alisnya, sebelum akhirnya Aylin memberi kode kepada Tirta untuk menyatukan kedua kelingking mereka.

"Sahabat," sahut Tirta dan menautkan jari kelingkingnya pada kelingking Aylin. "Tapi, saya punya firasat, kita akan ketemu lagi suatu hari, entah di mana."

Tirta harap firasatnya kuat. Mengingat dia pernah membuat sketsa wajah gadis yang mirip dengan Aylin. Hal itu seperti memberinya pertanda akan ada benang merah pada takdir keduanya.

oOo

Waktu itu tiba. Waktu perpisahan itu berlangsung di hotel Aylin beserta kedua kakaknya. Barang-barang Aylin sudah siap semua, tinggal menunggu kakaknya yang masih berkutat dengan kegiatannya berkemas oleh-oleh. Aylin tidak tau kapan kedua kakaknya itu membeli oleh-oleh untuk keluarga mereka. Sebelum akhirnya Meylin memberitahu kalau dirinya dan Athar membelinya sewaktu bersepeda waktu itu.

"Rasanya masih betah tinggal di sini," kata Aylin tiba-tiba sambil merapatkan jaketnya dengan helaan napas yang terdengar berat.

"Kapan-kapan bisa ke sini lagi, Lin. Nanti kita janjian lagi, ya?" hibur Tirta. 

Mengingat jarak antara Indonesia dan Swiss cukup jauh, Aylin tidak dapat memastikan apakah dia bisa kembali ke tempat ini lagi atau tidak. Waktunya tersita untuk bisnis yang kian hari semakin berkembang. Bahkan, frekuensi traveling Aylin semakin berkurang. 

"Kalau saya udah di Indonesia nanti, saya bakal main ke Jakarta buat ketemu kamu."

"Beneran?" Aylin tersenyum lebar sampai gigi putihnya terlihat.

"Iya, Lin. Nanti kamu gantian ajak saya jalan-jalan, ya?" 

Aylin tertawa singkat. "Aku bakal ajak kamu keliling Jakarta. Tenang aja."

Setelah semuanya siap, semuanya berangkat, termasuk Tirta yang mengantar kepergian Aylin dan kedua kakaknya menuju stasiun. Meylin menangkap atmosfer di sekitar adiknya dan Tirta yang tak terasa hangat seperti sebelum-sebelumnya. Sebenarnya bagi Aylin, ini bukanlah perpisahan yang berat. Pertemuan singkat antara keduanya tentu membekas, namun, seperti ada sesuatu yang tertinggal di tempat ini. Yaitu kerinduan. Aylin yakin, dia akan rindu tempat ini dan berharap bisa kembali lagi suatu hari. 

Sampai di stasiun, Aylin meminta izin kepada Meylin dan Athar untuk berbicara berdua dengan Tirta, sembari menunggu kereta datang. Bukan membicarakan hal penting, hanya saja dia ingin bicara kepada laki-laki di sisa-sisa waktunya. Entah kapan dia akan bertemu Tirta lagi.

"Saya boleh telepon kamu nggak kalau kamu udah sampai di Jakarta?" tanya Tirta membuka pembicaraan. Keduanya menghadap ke rel kereta dengan pemandangan pegunungan yang berada di jauh di depan sana.

"Boleh, aku malah seneng dapat telepon dari kamu. Kalau bisa, kamu banyak-banyak cerita tentang Kota Bern, ya.  Siapa tau aku tertarik untuk datang ke sana."

"Pasti, Lin."

Terlihat kereta dari kejauhan yang perlahan semakin mendekat, dengan suara roda yang melindas rel menghasilkan getaran kecil di tempat keduanya berpijak.

"Yap, kereta perpisahan telah tiba." Aylin menatap kereta itu cukup lama, sebelum akhirnya membawa matanya menatap Tirta.

"Terima kasih untuk hari-harinya selama di Lauterbrunnen. Selamat tinggal, Ta," ujar Aylin dengan suara pelan, samar-samar terdengar bergetar. Namun, perempuan itu pandai menutupinya dengan senyuman hambar.

"Terima kasih juga, Lin. Selamat tinggal." 

Meylin sudah memanggil adiknya untuk bersiap-siap. Tirta mendengar itu mengangguk kecil pada Aylin, meyakinkan perempuan itu untuk mengambil langkah menuju kakaknya. 

Tidak ada pelukan perpisahan, bahkan berjabat tangan pun tidak dilakukan. Hanya ada lambaian tangan dari Tirta yang mengantarkan Aylin sampai masuk ke dalam kereta.

::  s e l e s a i  ::


Lauterbrunnen in Memories - 9

November 25, 2022 0 Comments

Perjalanan panjang menuju pegunungan berselimut salju itu diisi dengan percakapan ringan. Sesekali Athar dan Meylin kompak menggoda dua insan yang kian hari semakin nampak dekat. 

Kini mereka telah sampai di tempat tujuan. Mata mereka langsung disuguhkan oleh hamparan putih salju abadi dan tak lekang oleh masa. Hawa dingin menyambut keempatnya, beserta angin yang menusuk kulit mereka. Namun, hal itu tak menyurutkan semangat mereka untuk bermain ski. 

Aylin menaikkan tudung jaket kulitnya ke kepala. Melanjutkan berjalan ke tempat penyewaan peralatan bermain ski bersama Tirta dan kedua kakaknya. 

"Kamu kedinginan, ya?" tanya Tirta. Dia hanya takut tubuh perempuan itu belum bisa beradaptasi dengan suhu di tempat ini.

"Iya, dingin."

"Kaya di Bandung, nggak?"

Aylin menggeleng sambil tertawa. Menanggapi pertanyaan Tirta yang jenaka. Langkahnya berhenti tatkala Tirta yang ada di sampingnya berhenti dan membungkuk untuk mengambil segenggam salju yang nampak seperti es serut.

Tirta yang terlihat kebal, memegang gumpalan salju itu dengan tangan telanjang. 

"Kamu mau nyoba megang? Ini keras, lho."

Aylin menyentuh bola-bola salju itu menggunakan jari telunjuknya. Dingin merambat di jarinya, membuatnya kembali menarik tangan. Tak ingin memegang. Jangakan salju, Aylin bahkan tak pernah kuat jika ditantang Meylin untuk menggenggam es batu. 

"Ngga, ah. Dingin. Nggak kuat." 

Tirta kemudian menjatuhkan gumpalan salju tersebut begitu saja setelah Aylin menolak untuk memegangnya.

Kini keempatnya sudah menyewa masing-masing peralatan ski lengkap beserta pakaiannya yang berbahan waterproof. 

"Kamu bisa main ski, Ta?" tanya Aylin ketika Tirta tengah mengganti sepatunya dengan sepatu ski. 

Tirta mendongak untuk menghadap perempuan itu. "Kalo musim dingin sering, sih, main," katanya, kemudian melanjutkan memasang sepatu skinya kembali.

"Kak Athar bisa?" Kini Aylin berganti menghadap Athar yang terlihat sudah siap untuk meluncur menuruni bukit salju yang tak terlalu curam.

"Beuh, itu mah jangan ditanya," jawab Athar. 

Yang kemudian mengundang Aylin untuk bertanya lagi. "Bisa?"

Athar menggeleng cepat, membuat derai tawa keempatnya pecah. 

"Ta, nanti ajarin aku main ski, ya," pinta Aylin ketika Tirta sudah menyelesaikan persiapannya. 

"Tanpa kamu minta juga saya bakal ajarin kamu, Lin." 

"Makasih, ya, Ta."

Kemampuan Tirta dalam bermain ski membuat Aylin mengacungkan kedua ibu jarinya. Laki-laki itu melesat menuruni bukit salju yang lumayan curam layaknya pemain ski profesional. Athar ikut menuruni bukit itu dengan bantuan Tirta, walaupun beberapa kali gagal dan berakhir dengan tawa di antara keempatnya.

"Ta, aku deg-degan." keluh Aylin kala Tirta tengah mengajarkannya bermain ski. Napas Aylin tak beraturan disertai jantung yang berdegup kencang, mengingat Athar yang tergelincir tadi. Dia hanya takut tak bisa mengendalikan kecepatannya, berakhir dengan meregang nyawa. Kan, tidak lucu. Namun, Aylin dengan cepat mengusir pikiran buruk itu. Sebab rasa penasarannya terlanjur mendominasi.

"Pelan-pelan aja." 

Aylin mengangguk, merasa yakin. Kemudian dia mencoba untuk percaya diri ketika menuruni hamparan salju miring, namun tak terlalu coba.

Matanya terpejam ketika papan ski itu mulai bergerak membawa tubuhnya dalam pengalaman baru. Aylin mulai membuka matanya dan merasakan udara dingin menabrak tubuhnya ketika melesat dengan kecepatan sedang.

Sebuah gundukan salju membuat papan skinya bergerak tak seimbang. Aylin tak mampu menyeimbangkan papan skinya dan terjatuh dengan tidak cantik. Bibirnya mencium salju yang menjadi alasnya. Dingin merembet cepat, membuat Aylin buru-buru bangkit dan menutup mulutnya.

Tirta yang melihat itu dari kejauhan, segera menghampiri Aylin dengan langkah tergesa. Mulutnya terbuka sedikit dengan alis yang berkerut, menandakan bahwa dia khawatir.

"Aylin!" seru Tirta dari kejauhan. 

"Ada yang sakit nggak?" tanya laki-laki itu ketika sudah sampai di hadapan Aylin. Tangannya bergerak aktif memeriksa anggota badan Aylin mulai dari tahan hingga kaki. 

Aylin malah tergelak. Detik berikutnya, dia menghempaskan tubuhnya ke salju. "Seru! Aku nyium salju, dingin. Hahaha!" 

Meylin dan Athar juga menghampiri Aylin yang tengah tidur di sembarang tempat sambil tertawa.

"Tapi, nggak ada yang sakit, kan?" Tirta masih khawatir dengan keadaan Aylin, tidak terpengaruh dengan tawa perempuan itu.

"Nggak, Ta. Nggak ada yang sakit."

Tirta menghela napas panjang, lega. 

"Kamu kenapa tiduran gitu, deh?" tanya Meylin yang masih belum mengerti apa yang terjadi dengan adiknya sampai tertawa begitu. Yang dia tau hanya Aylin jatuh karena bermain ski. Itu saja. Jika saja Meylin dan Athar melihat kejadian yang memalukan itu, pastilah suatu saat momen itu akan menjadi bahan olok-olokan.

"Lemes, Kak. Sakit perut karena ketawa." Aylin memegangi perutnya yang terasa kram karena tertawa kencang. 

Tirta menggeleng kepalanya sambil tersenyum. Dia tidak bisa tertawa di atas penderitaan orang lain. Padahal orang lain itu justru tertawa di atas penderitaannya sendiri.

oOo

Pegunungan berselimut salju terpampang dari berbagai sisi. Hamparan salju tak ada habisnya tertangkap mata. Namun anehnya, tak menimbulkan rasa bosan sama sekali bagi Aylin maupun Tirta. Keduanya kini tengah berdiri pada sebuah tempat, di mana dari sana mereka bisa melihat pemandangan indah itu. Sementara Meylin dan Athar berada di tempat berbeda karena masih asyik bermain ski.

Embusan angin menerpa semua pengunjung di sana, merasakan hawa dingin yang menyelimuti sekitarnya.

Aylin sibuk memotret pemandangan di depannya, seperti tak ada habisnya. Padahal, sudah lima foto polaroid yang diambil dengan pemandangan yang sama. Jika kamera polaroid tersebut bisa bicara, pastilah benda itu akan mengeluh. 

"Aku masih nggak percaya ada tempat seindah ini di bumi," kata Aylin. Siapapun yang melihat pemandangan di hadapannya itu tak akan mampu mengelak pesona yang disuguhkan oleh alam.

"Luar biasa," komentar Tirta singkat, sembari menaikkan kacamata hitamnya ketika menatap Aylin yang berada di sampingnya. Kacamata hitam sangat dibutuhkan ketika melihat putihnya salju di siang hari seperti ini untuk membantu penglihatan.

"Aylin," panggil Tirta pelan. Matanya tak lepas melihat sosok perempuan yang tengah sibuk dengan kameranya itu.

"Iya?" Aylin menoleh. Lantas menurunkan tangannya yang tengah memegang kamera polaroid. Jika saja keduanya tidak memakai kacamata hitam, pasti Aylin sudah gugup menangkap kedua mata Tirta menatapnya begitu intens. 

"Kalo saya bilang saya suka sama kamu gimana?"

Aylin mengernyitkan dahi, kemudian tertawa hambar. Dia bingung harus bereaksi apa. "Jangan bercanda." Hanya itu yang bisa terlontar dari mulut Aylin.

"Saya serius. Saya suka sama kamu, Lin," kata Tirta dalam. Aylin merasa oksigen di sekitar berkurang, membuatnya napasnya tercekat. Aylin tidak tahu, mengapa perkataan seseorang bisa berpengaruh pada organ tubuhnya. Seperti ada sesuatu yang menyelinap masuk tanpa perintahnya. Belum pernah dia merasakan seperti ini sebelumnya.

"Saya cuma mau jujur soal perasaan saya ke kamu. Kamu nggak perlu jawab apa-apa. Saya juga nggak minta kamu balas perasaan saya. Yang penting saya udah jujur sama diri saya sendiri dan kamu, orang yang bersangkutan, tau hal itu."

Aylin yang diam seribu bahasa, akhirnya menyunggingkan senyum, juga Tirta yang melakukan hal yang sama. Senyum yang hanya dimengerti oleh keduanya. Biarlah hari ini menjadi hari yang terindah sebelum hari esok tiba.

Setidaknya, pertemuan singkat ini memberikan memori indah sebelum menyambut perpisahan. 

oOo

Lauterbrunnen in Memories - 8

November 25, 2022 0 Comments

"Kamu pasti risih ya diledekin sama kakak aku?" tanya Aylin ketika mereka berdua tengah berjalan di jalan setapak berbatu kerikil kecil pada tanah yang miring dan menanjak. Mengingat kejadian di kafe tadi, membuat dirinya malu. 

Tirta menggeleng mantap. "Nggak sama sekali, Lin. Itu, kan, cuma candaan, kenapa harus risih? Selagi nggak menyangkut kehidupan pribadi saya, saya nggak pernah terbawa perasaan."

"Maafin, ya. Kakakku tuh emang jahil."

Aylin hanya takut Tirta risih dan suasana menjadi canggung ke depannya. Beruntung, Tirta seperti dirinya yang kebal dengan sikap jahil kedua kakaknya.

Aylin menendang kerikil kecil tak bersalah, menganggap batu yang ditendangnya adalah dua orang yang tengah bergandeng tangan di depan sana. Meylin dan Athar tengah asyik berfoto ria menggunakan kamera polaroid milik Aylin.

"Tapi, menurut saya, kakakmu itu friendly, lho. Mudah bergaul sama orang lain. Saya jadi keinget kakak saya di Bandung. Dia perempuan, jahil juga. Sifatnya persis banget kayak kakak kamu."

"Kamu kangen keluarga kamu, ya, Ta?"

Tirta mengembuskan napas panjang, mengempit bibir, sebelumnya akhirnya menjawab, "Iya, kangen."

Aylin tidak berani meneruskan topik pembicaraan soal keluarga lebih jauh. Mengingat wajah Tirta yang nampak kurang nyaman, seperti ada beban yang ditanggungnya selama ini. Juga nada suaranya yang terdengar bergetar, walaupun samar-samar.

Tirta  menangkap raut wajah Aylin yang merasa tidak enak karena jawabannya, berusaha mencairkan suasana kembali. 

"Kalo mau tanya, tanya aja. Nggak usah minta izin." Aylin terkekeh geli, mengingat Tirta sering meminta izin ketika ingin bertanya sesuatu.

"Kamu kenapa suka foto pakai kamera polaroid? Padahal kamu punya ponsel yang bisa buat foto juga."

"Karena kamera polaroid itu jujur, sesuai keadaan. Kita nggak bisa ngedit, ngasih efek, atau yang lainnya. Karena setelah difoto, hasil fotonya bakal langsung keluar."

Tirta manggut-manggut, paham. Dalam hati, dia menilai Aylin adalah perempuan yang suka berterus terang, apa adanya.

"Eh, Tirta, Aylin. Cepetan jalannya. Aku mau fotoin kalian berdua. Di sini view-nya bagus," seru Meylin yang berada di depan mereka sembari mengibaskan tangan.

Aylin menoleh ke arah Tirta, seperti meminta persetujuan. Setelah mendapat respon setuju, barulah keduanya berjalan dengan langkah panjang menuju Meylin dan Tirta.

"Kalian coba berdiri di sini," titah Meylin, menarik tubuh keduanya agar sesuai keinginannya. Baik Aylin maupun Tirta hanya bisa pasrah.

"Senyum, ya." 

Athar kemudian memotret dua insan yang tengah tersenyum ke arah kamera.

"Coba Aylin geser dikit." Meylin yang di samping Athar mengomando dengan menggerakan tangannya ke kiri. 

Tak sengaja, kaki Aylin jadi terinjak karena tak memerhatikan ke bawah. Aylin meminta maaf karenanya, kemudian sama-sama tergelak. Tanpa disadari, Athar diam-diam mengambil gambar keduanya yang tengah tertawa. Cahaya flash sontak membuat Aylin dan Tirta membisu, menghentikan tawa mereka.

"Kakak foto kita diem-diem, ya?" Aylin mengangkat kedua alisnya. Namun tak ada jawaban dari Athar. Karena foto polaroid yang mulai keluar dari kamera sudah cukup untuk menjadi jawaban atas pertanyaannya.

"Coba liat," pinta Aylin. Athar memberikan foto itu setelah Meylin melihatnya.

"Ih, tapi bagus lho," celetuk Aylin. Yang disahut Tirta, tanda setuju. 

Aylin dan Tirta menyimpan masing-masing satu foto polaroid. Aylin memilih untuk menyimpan hasil foto colongan Athar, sementara Tirta hasil foto yang pertama. 

Kini Aylin dan Tirta memilih mengistirahatkan diri di rerumputan pada tanah yang miring. Sementara Meylin dan Athar sibuk berfoto di dekat Air Terjun Staubbach. 

Lauterbrunnen tampak indah dari ketinggian, tempat keduanya duduk. Rumah berbentuk seperti pondok-pondok kecil yang terbuat dari kayu tersusun tak beraturan, padang rumput mendominasi pemandangan. Panorama Pegunungan Alpen menghadirkan rasa damai di hati masing-masing. Mereka tak henti-hentinya memuji ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa. Dalam hati Aylin merasa bahwa orang Swiss sangat beruntung bisa dilahirkan di tempat ini. Surga dunia. Hadiah terindah dari Tuhan. Orang Swiss mengerti mereka dititipkan sesuatu yang sangat berharga, oleh sebab itu mereka menjaga hadiah tersebut dengan sebaik-baiknya. Terbukti dari lingkungan yang bersih, terawat, dan alamnya yang selalu asri dilihat.

"Kalau masa tua dihabiskan di Lauterbrunnen, mungkin bakal indah banget kali, ya, Ta?" 

Tirta melayangkan pandang ke arah Aylin yang wajahnya tersiram cahaya matahari. "Indah, Lin. Tapi, di mana pun tempatnya, yang terpenting adalah kebahagiaan. Karena tanpa kebahagiaan, sesuatu yang kita impikan nggak akan terasa indah." 

"Iya, kamu bener. Ibu aku pernah bilang, ada dua hal penting dalam kehidupan ini, yaitu kesehatan dan kebahagiaan. Karena tanpa keduanya, hidup itu nggak berarti apa-apa."

Senyum getir menggantung di bibir Tirta. Pandangannya naik, melihat langit biru dengan awan putih yang nampak seperti kapas raksasa. "Ibu saya pasti udah bahagia di sana." 

Mulut Aylin terbuka mendengar pernyataan itu. "Maaf, Ta. Aku nggak bermaksud--"

"Nggak apa-apa, Lin. Saya cuma keinget ibu saya. Kamu nggak usah merasa bersalah begitu, saya jadi nggak enak," potong Tirta.

Sepotong memori dalam ingatan Aylin tiba-tiba berputar. Sebuah percakapan bersama Tirta pada hari pertama kedatangannya di Lauterbrunnen. Di mana dia dan Tirta tengah menyusuri Lauterbrunnen pada malam hari.

"Aylin, kamu lebih suka bulan atau bintang?" tanya Tirta yang merobek kesunyian di antara mereka. 

"Bintang."

"Kira-kira bintang kalau ditawar berapa, ya, harganya?"

Aylin mengernyitkan dahi, lantas tertawa. "Maksud kamu apa?"

"Saya cuma pengen beli bintang buat nerangin Lauterbrunnen. Tau lagu Ambilkan Bulan Bu?"

"Tau, dong. Bisa dibilang itu lagu favoritku waktu kecil. Kenapa?"

"Saya dulu sering nyanyiin lagu itu ke Ibu saya. Tapi, sampai sekarang Ibu saya nggak pernah ngasih bulan itu ke saya."

Aylin merasa bersalah karena menganggap Tirta tengah melucu waktu itu. Mengingat ucapan Tirta sewaktu kecil yang mustahil untuk bisa terwujud. Siapa juga yang bisa mengambil bulan?

Ternyata, perkataan itu mengandung arti yang sebenarnya dalam arti berbeda. Sesuai ucapan Tirta, bahwa ibunya tak pernah memberikan bulan itu kepadanya. Tak akan pernah. Karena ibunya telah tiada, beristirahat dengan tenang di pangkuan Tuhan.

Dan, pantas saja Tirta seperti merasa sedih sewaktu Aylin bertanya apakah laki-laki itu rindu keluarganya. Sekarang, Aylin mendapatkan jawabannya. 

Tangan Aylin bergerak di atas rumput, mencari tangan Tirta untuk diusap. Berusaha menyalurkan energi positif yang dia punya.

"Kamu jangan sedih, ya. Pasti ibu kamu udah bahagia di surga-Nya." 

Tirta mengangguk sembari tersenyum, berusaha terlihat tegar. Tapi, Aylin tahu, jauh di dalam lubuk hati, laki-laki itu merasa kehilangan. Aylin tak bisa membayangkan jika itu terjadi pada dirinya. Suatu saat memang akan terjadi, iti pasti. Namun Aylin belum siap untuk kehilangan kedua orangtuanya. Tidak akan pernah siap. Aylin pernah meminta pada Tuhan dalam doa, agar nyawanya lebih baik dicabut terlebih dulu daripada harus menyaksikan kepergian dua orang yang sangat berarti dalam hidupnya. 

"Terima kasih ya, Lin." Tirta bisa merasakan ketulusan yang terpancar dari sorot mata perempuan itu.

oOo

Sinar matahari menerangi perjalanan pulang ke hotel masing-masing. Dalam perjalanan tersebut, mengalir percakapan di antara keempatnya.

"Besok kita mau main ski di Jungfrau. Kamu mau ikut nggak, Ta?" tanya Aylin. Jungfrau merupakan salah satu puncak dari pegunungan Alpen Bernese yang berada di antara kanton Valais dan Bern yang ada di wilayah Swiss. 

"Nah iya, ikut aja, Ta. Biar Aylin ada temennya. Kasian dia kalo jadi nyamuk terus," sahut Athar yang mendapat pelototan tajam dari Aylin.

"Boleh." Jawaban itu membuat Tirta mendapat hadiah rangkulan dari Athar.

"Kita mau ngabisin waktu di sana seharian, soalnya lusa sore kita udah harus balik ke Jakarta," Meylin ikut menanggapi.

Mengingat hal itu, jantung Tirta tiba-tiba berdetak kencang. Ada perasaan aneh yang menyelimuti hatinya saat ini. Perkataan yang keluar dari mulut Meylin itu juga menjadi penyebab hilangnya senyum Aylin dari bibir. 

Setelahnya tak ada lagi percakapan, karena keempatnya larut dalam pikiran masing-masing.

oOo


Lauterbrunnen in Memories - 7

November 25, 2022 0 Comments

Tirta menatap Aylin yang tengah mengendarai sepeda di depannya. Rambut hitam kecoklatan yang dikuncir itu sesekali bergoyang terkena angin. Sinar matahari membuat rambut Aylin terlihat semakin coklat.

Berada di dekat perempuan itu Tirta merasakan sesuatu yang berbeda. Rasa bahagia tercipta bukan hanya karena Aylin mirip seperti gadis yang ada dalam bayangannya. Melainkan, perhatian kecil yang seringkali membuat dadanya berdesir. 

Tirta sekarang baru menyadari, teori jatuh cinta dalam hitungan detik itu benar adanya. Hanya dengan tatapan yang berlangsung selama kurang lebih lima detik, berhasil membuat Tirta merasa hanyut dalam paras cantik perempuan itu. Sepasang mata seperti kacang almond, dengan bulu mata panjang yang menaunginya. Hidung bangir disempurnakan dengan bibir yang kecil. 

Tapi, fisik bukan menjadi poin utama yang menentukan perasaannya. Tirta merasa nyaman dekat Aylin, terlebih mereka memiliki beberapa kesamaan, seperti suka berpetualang dan mengagumi alam. 

Namun, dia tak ingin jatuh terlalu dalam. Sebatas teman saja cukup. Membiarkan Aylin berkeliaran liar dalam benaknya, bersenang-senang dalam imajinasinya seperti yang telah lalu. Tak masalah jika perempuan itu ingin singgah lebih lama dalam pikirannya.

Aylin bukan hanya bayangannya yang menjadi nyata, tapi sebagai pembenar bahwa sesuatu yang aneh yang terjadi dalam hidupnya adalah bagian dari takdir.

Tiba-tiba, Aylin yang mengendarai sepeda di depannya berhenti. Membuat Tirta juga ikut berhenti di belakangnya. 

"Kenapa, Lin?"

"Aku mau minta tolong fotoin di sini, boleh?" Setelah Tirta mengangguk, barulah Aylin mengeluarkan kamera polaroid merah mudanya dari dalam tas dan memberikannya ke Tirta.

Mereka berhenti di pinggir jalan. Di sisi kiri dan mereka pemandangan masihlah sama, padang rumput hijau. Namun, tebing panjang menambah keindahan panorama di sebelah kiri mereka.

Aylin tetap menaiki sepedanya dengan tangan kanan membentuk peace dan tangan kirinya memegang stang sepeda.

"1 ... 2 ... 3." 

Cahaya flash memudar. Keluarlah foto polaroid mungil yang diharapkan Aylin akan bagus sesuai ekspektasinya.

"Ta, kita foto bareng, yuk?" ajak Aylin setelah foto itu puas dilihatnya.

Mengetahui kebingungan Tirta, Aylin segera menjelaskan, "Kamu pegang handphone kamu pakai tangan kiri, aku pegang kameranya pakai tangan kanan. Nah, gunanya handphone itu cuma buat lihat apakah posisi kameranya udah bener atau belum. Kan, kamera polaroid nggak ada kamera depan. Jadi kita harus foto pake kamera belakang dengan bantuan handphone."

Tirta mengangguk paham. Kemudian merogoh saku bajunya untuk mengambil ponsel. Mengikuti instruktur Aylin demi mendapatkan foto bersama menggunakan kamera polaroid.

"Cis ..." Aylin menunjukkan giginya, sementara Tirta tersenyum sampai lesung pipinya terlihat dalam. Foto polaroid keluar, keduanya tersenyum puas melihat hasilnya.

"Sekali lagi, Ta. Biar kebagian satu-satu fotonya," kata Aylin. Mereka kembali berfoto menggunakan gaya yang sama. Hanya ada senyum keduanya. Tidak ada tambahan gaya menggunakan tangan.

Jari mereka bersentuhan karena tubuh yang berdiri bersisian tanpa jarak. Sadar dengan itu, Tirta menggeser tubuhnya ke samping hingga tangan mereka tidak berhimpitan lagi. 

Polaroid keduanya keluar, kemudian Aylin memberikannya untuk Tirta, sementara foto pertamanya akan dipasang di buku catatan bersampul coklat milik perempuan itu.

Aylin memandangi foto itu, kemudian bergumam singkat, "Bagus." 

"Luar biasa," sahut Tirta, diakhiri kekehan renyah.

"Lanjut lagi, yuk?" ajak Aylin yang sudah berada di atas sepedanya, siap mengayuh. Tirta melakukan hal yang sama. Keduanya kembali menempuh perjalanan mengelilingi Desa Lauterbrunnen.

oOo

Acara mengelilingi Lauterbrunnen menggunakan sepeda sudah selesai. Keempatnya bertemu kembali di sebuah kafe yang tak jauh dari tempat penyewaan sepeda.

"Waktu kecil Aylin ini pernah nangis tau lihat kucing kawin," cerita Meylin ketika semuanya tengah melebur dalam obrolan sambil menunggu pesanan mereka datang. Kali ini topiknya membahas masa lalu Aylin yang memalukan. 

Semua tertawa kecuali Aylin. Lagi-lagi dia ternistakan di sini. Untung, Aylin tidak pernah terbawa perasaan dengan godaan kakaknya yang jahil itu. Dia juga sebenarnya ingin tertawa mengingat kejadian memalukan itu, namun gengsinya menguasai hati. Jadilah, Aylin menggigit pipinya guna menahan tawa.

"Katanya, kucingnya kasian ditindihin," Meylin bercerita dengan tawa yang terkadang memutus kalimatnya. Tirta yang berada di seberang Aylin juga ikut tertawa, dengan tangan mengepal di depan mulut. Sesekali geleng-geleng kepala, seperti heran dengan tingkah laku perempuan yang ada di hadapannya.

"Stop, Kak," pinta Aylin dengan wajah yang dibuat memelas. 

"Terus dia nangis kejer sampe omah kebingungan nenanginnya," Meylin melanjutkan tanpa memedulikan adiknya yang sudah akting dengan membuat wajah memelas itu.

"Oh, ternyata Aylin begitu, ya, kecilnya," celetuk Tirta. "Lucu."

"Kak Meylin juga pernah nangis gara-gara nggak bisa manjat pohon pisang," sahut Aylin, membalas dendam kepada kakaknya dengan menceritakan kejadian yang memalukan yang dilakukan Meylin sewaktu kecil.

"Serius, Yang?" Athar tertawa ngakak mendengar istrinya bertingkah seperti itu waktu kecil. "Pohon pisang aja kamu mau panjat? Kenapa nggak pohon toge aja sekalian?"

Meylin malah ikut tertawa mendengarnya. Sangat kencang, sampai-sampai mencuri perhatian sekitar. Aylin menempelkan bibir di depan telunjuk, mengisyaratkan kakaknya untuk diam dan tidak membuat malu.

"Kakak, mah, kebiasaaan. Kalo ketawa nggak inget tempat." 

Athar memajukan tubuh agar bisa menutup  mulut istrinya. Tirta tersenyum canggung kepada pengunjung kafe yang lain.

"Aduh, maaf, deh. Kalo diinget, aku konyol banget waktu itu. Jangakan orang, kipas aja geleng-geleng saking herannya," kata Meylin setelah Athar melepaskan tangannya.

"Eh, ngomong-ngomong, kalian kalo diliat makin lama makin deket, ya." Athar menatap Tirta di sebelahnya, kemudian beralih pada Aylin yang ada di seberang meja.

Aylin dan Tirta saling menatap. Alis perempuan itu terangkat, dan mengalihkan pandangannya ke Athar.

"Deket sebagai temen, kan? Kalo gitu, iya."

Tirta mengangguk setuju. "Iya, nggak lebih."

Entah hanya perasaannya saja, atau Meylin mampu merasakan dari tatapan keduanya yang seperti menyiratkan sesuatu. 

Athar menyiku Tirta yang ada di sebelahnya. Sementara alisnya diturun naikkan menghadap Aylin, berniat menggodanya. "Aylin jomblo, loh, Ta." 

"Tahun depan Aylin nikah, liat aja nanti!" ketus Aylin. Matanya melotot pada kakak ipar di hadapannya itu. Tanpa sadar, ada sepasang mata yang kini tengah menatapnya sambil tersenyum.

"Nikah sama Tirta, ya?" ledek Meylin. 

Meylin belum pernah melihat Aylin cair dengan laki-laki yang terbilang baru dalam kehidupan perempuan itu. Seumur hidup, hampir tidak pernah dia melihat Aylin dekat dengan seorang laki-laki, kecuali Bagas--sahabat Aylin di kampus dulu. Kehidupan Aylin sedikit tertutup dan tidak mau berbaur dalam dunia percintaan. Katanya, Aylin ingin fokus pada bisnis lulur organik yang dirintis bersamanya. 

Dan melihat kedekatan Aylin dengan Tirta, dalam hati Meylin berharap, Aylin mau membuka hati untuk seorang laki-laki.

oOo

Lauterbrunnen in Memories - 6

November 25, 2022 0 Comments

Malam tadi, Aylin tidak bisa tidur karena tak sabar menunggu esok pagi. Matanya menolak untuk terpejam, dengan pikiran yang melayang entah ke mana. Alhasil, dia menghabiskan malamnya dengan menulis puisi sembari memandang desa Lauterbrunnen lewat jendela dari dalam kamar hotelnya. Sementara kakaknya tertidur pulas dengan posisi menguasai tempat tidur. Aylin sampai bingung ingin tidur di sebelah mana. Alhasil, pada jam satu pagi kantuknya datang dan Aylin memilih tidur di sofa yang membuat badannya agak pegal-pegal hari ini. 

Sepertinya kantuk memang tak berlaku bagi Aylin. Pegal-pegal yang dia rasakan larut dalam semangat menyambut pagi. Karena buktinya, pagi-pagi sekali dia sudah bersemangat untuk mengelilingi tempat ini dengan sepeda bersama Tirta dan kedua kakaknya--Aylin yang mengajak keduanya untuk bersepeda bersama.

Hari ini, Aylin mengenakan sweater berwarna mustard. Rambut panjangnya diikat ke belakang, ditambah hiasan senada dengan sweater yang menutupi ikat rambutnya. 

Aylin mematut diri di depan cermin besar yang terpampang di hadapannya. Melihat apa yang kurang dari penampilannya. Dia melihat keganjilan di bagian rambutnya, lantas merapikan penampilan yang dianggap kurang sempurna itu.

"Ay, cepetan, kakak udah siap, nih," kata Meylin sembari membuka pintu. 

Mendengar itu, Aylin langsung mengambil tas ransel berisi makanan ringan, tisu dan air mineral, lantas menghampiri kedua kakaknya yang sudah siap itu. Ketiga turun untuk menemui Tirta yang sudah menunggu di luar.

"Pagi, Ta," sapa Aylin. Rambutnya bergoyang kala dia berlari kecil untuk menghampiri Tirta.

"Pagi, Lin, Kak." Mata Tirta teralihkan pada dua sosok yang tengah kasmaran di depannya.

"Yang, kita nggak usah ganggu mereka berdua, ya. Kita sepedahannya jangan sama mereka," bisik Meylin kepada Athar. Suaranya sengaja dikencangkan agar Tirta dan Aylin yang tengah mengobrol itu mendengar.

"Oke, Sayang. Kita nggak boleh ganggu orang PDKT. Kasian, nanti Aylin jomblo terus." 

"Aku denger, ya!" seru Aylin sambil melengkungkan bibir ke bawah, tanda dia sebal.

Meylin dan Athar kompak tertawa, Tirta juga ikut terkekeh. Hanya Aylin saja yang diam dan sedikit heran. Menyikapi Tirta yang justru terkekeh karena ucapan kedua kakaknya.

"Udah, ah. Jangan godain aku terus," kata Aylin, memilih berjalan dahulu. Ketiganya menyusul Aylin, namun Tirta-lah yang paling cepat mengejarnya.

"Kamu lucu kalo lagi marah," celetuk Tirta pelan. Membuat Aylin menggigit pipinya sendiri untuk menahan senyum. Sebenarnya dia tidak marah atau tersinggung sama sekali. Hanya saja, Aylin merasa malu digoda di depan Tirta.

Berjarak sekitar dua meter di belakang mereka, Meylin dan Athar tertawa kecil. Merasa bahagia dengan kedekatan dua orang di depannya. 

oOo

Keluar dari tempat penyewaan sepeda, keempatnya menuntun sepeda masing-masing, dan membawanya keluar bangunan coklat berlantai dua. 

"Kamu udah siap, kan?" tanya Tirta. Setelah mendapat anggukan, laki-laki itu kemudian naik ke atas sepeda tersebut. Aylin juga melakukan hal yang sama.

"Kakak sama Mas Athar mau sepedahan ke sana, ya," ujar Meylin sembari menunjuk jalan yang berada di belakang mereka. Sesuai kesepakatan, keempatnya akan berpisah. Athar dengan Meylin, sedangkan Tirta bersama Aylin. 

"Iya sana. Hush-hush." Aylin mengibaskan tangan, seperti gerakan mengusir kedua kakaknya. Kemudian diakhiri dengan tawa renyah.

"Udah nggak sabar mau pacaran, ya," sahut Athar, membuat Aylin mematung seketika. 

"Aku nggak pacaran sama Tirta, ya. Udah, ah. Aku sebel digodain terus sama kalian." Aylin menyilangkan tangannya di depan dada. 

"Iya emang belum, tapi bentar lagi kayaknya," jawab Athar lagi. Membuat yang digoda mendengus kesal.

Tirta hanya tersenyum menanggapi candaan Athar. Membuat Aylin gemas sekaligus heran. 

Kenapa Tirta nggak protes, sih, batin Aylin.

"Aku jalan duluan, biar nggak digodain sama kalian. Bye." 

Sepeda mulai dikayuh Aylin dengan pelan, meninggalkan Tirta yang masih diam di atas sepeda. Sementara Meylin dan Athar belum naik ke atas sepeda sama sekali. 

"Kak, saya duluan," pamit Tirta kemudian menyusul Aylin yang sudah mulai terlihat jauh. Tirta mempercepat kayuhannya, mengikis jarak keduanya.

"Kamu marah?" tanya Tirta ketika keduanya bersisian.

"Nggak, Ta. Aku nggak pernah baper sama candaan kedua kakakku itu. Mereka emang pasutri jahil," jawab Aylin yang kemudian mengundang Tirta untuk tersenyum lega. 

Keduanya mengendarai sepeda menelusuri Auf der Fuhren. Aylin yang berada di samping Tirta merasa pasrah dituntun ke mana saja. Dia merasa aman bersama laki-laki itu. Padahal Tirta termasuk orang baru dalam kehidupannya. Namun, Aylin percaya Tirta. Aylin percaya jika Tirta sama sekali tidak berniat buruk atau ingin memanfaatkannya saja.

Nampak di sisi kiri berdiri bangunan yang berupa kios, restoran, hotel dan lain-lain. Di belakang bangunan tersebut, menjulang dengan kokoh tebing yang tinggi. Sementara di sisi kanannya juga dipenuhi bangunan yang membelakangi hamparan rumput luas di tanah yang miring. Jauh di depan sana, terlihat pegunungan berwarna hijau tua karena dipenuhi pepohonan dan rumput.

Jauh di belakang sana, terlihat Air Terjun Staubbach yang berada di tebing, ditambah pegunungan yang di atasnya terselimuti oleh salju berjejer rapi, layaknya benteng yang mengelilingi Lauterbrunnen. Panorama pegunungan alpen membentuk siluet indah yang terlihat samar-samar di hari yang cerah ini, meskipun matahari masih malu-malu untuk menampakkan cahayanya.

Matahari perlahan bergerak naik. Tirta menuntun Aylin untuk berputar ke arah yang awalnya menjadi jalan yang dipilih Meylin dan Athar.

Mereka menelusuri jalan yang menyuguhkan pemandangan hamparan luas rumput serta beberapa rumah berbentuk Chalet--ciri khas rumah di Pegunungan Alpen--yang jaraknya jauh dengan rumah lainnya. Tidak seperti jalan awal yang mereka lalui, di mana bangunan berderet sepanjang jalan. Kambing-kambing berbulu putih berlarian diikuti suara dentingan lonceng yang terlilit pada leher kambing-kambing tersebut.

"Ta, istirahat dulu, yuk," kata Aylin agak kencang. Matanya menyipit ketika menoleh karena cahaya matahari langsung menerpa wajahnya. 

"Iya."

Aylin mengehentikan sepedanya di pinggir jalanan yang lengang itu. Diikuti oleh Tirta yang berhenti di depannya.

Aylin duduk beralaskan rumput basah, meluruskan kakinya dengan kedua tangan bertumpu pada tanah. Tirta ikut duduk di samping perempuan itu sambil memeluk lutut.

"Tirta," panggil Aylin dengan napas tersengal-sengal. Diamnya Tirta memberikan kesempatan untuk Aylin meneruskan kalimatnya. "Kaki kamu jangan ditekuk gitu, nanti parises."

"Oh, iya, Lin. Makasih, ya, udah ingetin."

Tirta ikut meluruskan kakinya seperti yang Aylin lakukan, sembari menggoyang-goyangkannya pelan. 

"Aku udah lama nggak olahraga. Makanya jalan sedikit aja udah capek," jelas Aylin tanpa diminta. Selama dia merintis usaha lulur organik bersama Meylin, kegiatan olahraga hanya dilakukan sebulan sekali. Ruangan berbau harum--tempat produksi lulur itu--membuatnya enggan untuk pergi ke mana-mana. Aylin memang lebih suka berada di tempat produksi daripada harus duduk manis di kursi kantor.

"Capek banget, ya?" tanya Tirta yang terlihat prihatin karena Aylin seperti kesulitan mengatur napas.

"Nggak terlalu, sih." Aylin menarik napas sebelum melanjutkan kalimatnya yang terdengar menggantung. "Mungkin karena tadi malam aku tidurnya kurang, jadi gampang capek."

Aylin mengambil dua air mineral dan menyodorkan salah satunya ke Tirta. Tirta awalnya menolak, namun dengan paksaan Aylin, akhirnya Tirta mau menerimanya disertai senyum manis. Dia juga mengeluarkan tisu dan menghapus peluh dari dahinya. Tirta juga melakukan hal demikian.

"Emang tadi malem kamu tidur jam berapa?" tanya Tirta meneruskan topik pembicaraan.

"Jam satu."

"Kenapa kamu tidur malem-malem?" 

"Nggak bisa tidur, Ta. Karena terlalu bersemangat mau sepedahan, hehe." Kekehan renyah dari Aylin membuat Tirta ikut tertawa geli karenanya.

"Lusa kamu udah pulang, ya?" tanya Tirta setelah tawa keduanya mereda.

"Iya." Mendadak, suasana hati Aylin seperti berada di titik kurva terendah. Dia tidak ingin waktu berlalu begitu cepat, meninggalkan semua kenangan indah di tempat ini. Aylin ingin tinggal lebih lama, jika bisa.

"Setelah kamu pulang, saya pasti bakal kesepian." Tangan Tirta bergerak memainkan rumput, seperti menyalurkan rasa sedih karena tinggal hitungan jam mereka akan menyambut perpisahan.

Menyadari kegundahan yang terlihat dari raut wajah Aylin setelah dirinya mengucapakan perkataan itu, Tirta kemudian berkata lagi, "Pertemuan dan perpisahan itu memang dua hal yang nggak pernah terpisahkan dari kehidupan, ya, Lin."

Aylin yang tadinya menatap lurus ke depan, kini memberanikan diri untuk menoleh dan memandangi manik mata Tirta. 

"Saya nggak pernah nyangka kalau ketemu sama kamu rasanya sebahagia ini," lanjut Tirta.

Kerutan di dahi Aylin sudah cukup untuk menandakan bahwa gadis itu bingung dengan ucapan Tirta yang ambigu. Hati Aylin seperti mengalami konflik batin. Benaknya menyuruh untuk tidak terbawa perasaan, sedangkan hatinya berkata lain.

"Maksud saya, saya senang ketemu kamu," ucap Tirta yang kemudian membuang wajahnya ke lain arah, ketika sadar dirinya terlena dengan wajah Aylin yang mirip seperti wajah gadis yang ada di bayangannya. Dia tidak ingin Aylin merasa terganggu karena ucapannya yang terdengar seperti menaruh perasaan. Juga tidak ingin Aylin menjauh karena ucapan itu, bahkan sebelum perpisahan antara keduanya. 

Bagai dihempas setelah diterbangkan, Aylin tertawa hambar karenanya. 

Sementara, Tirta merasakan jantungnya berdetak kencang. Bukan karena efek usai mengayuh sepeda, melainkan karena perempuan yang kini duduk di sampingnya.

Aylin.

oOo

Lauterbrunnen in Memories - 5

November 25, 2022 0 Comments

Tirta duduk di tepi ranjang dengan buku sketsa miliknya yang berada dalam genggaman. Pikirannya berkelana, mengingat sesuatu hal janggal dan terbilang aneh.

Di lembar buku sketsa yang dia buka, terdapat sketsa gadis yang belum sempurna. Belum ada warna. Hanya garis-garis yang membentuk wajah, yang samar-samar terlihat seperti Aylin. 

Tirta tidak mengerti bagaimana keanehan ini terjadi. Semesta itu luas, tapi entah mengapa dunianya terasa sempit. Tirta seperti mengalami déjà vu.

Bermula dari satu bulan lalu, di mana dia menggambar sosok gadis yang ada dalam pikirannya. Pensilnya bergerak seperti memiliki jiwa, dan terbentuklah sketsa yang belum sempurna tersebut. Tirta tak lagi meneruskan gambarnya, bahkan untuk memberinya warna saja dia tidak bisa. Tidak ada alasan khusus selain kehabisan inspirasi.

Lantas, liburan kali ini dia menyempatkan pergi ke suatu tempat, dengan tujuan untuk mencari inspirasi untuk gambarnya yang belum usai.

Sejak awal bertemu Aylin, benak Tirta tak henti-hentinya memikirkan gadis itu. Walaupun hanya samar-samar, Tirta tak pernah berpikir jika gadis yang ada dibayangannya seolah menjadi nyata. Menjadi hidup. Menjadi temannya.

Dia belum siap jika menceritakan semuanya kepada Aylin. Atau bahkan semua ini akan menjadi rahasia yang akan dipendamnya sendiri. Siapa juga yang akan percaya dengan keanehan yang terjadi dengannya? Dirinya sendiri saja tidak percaya.

Jari Tirta bergerak menelusuri permukaan gambar itu. Lantas dia mengambil pensilnya dari dalam tas dan menorehkannya pada sketsa tersebut, menyempurnakannya.

Alasan lain Tirta ingin melukis Aylin bukan semata-mata untuk memberikan perempuan itu kenang-kenangan darinya. Melainkan untuk membuktikan keanehan yang terjadi pada dirinya. 

Tatapan yang berlangsung lima detik itu, Tirta memindai setiap inci wajah Aylin. Bayangan abu-abu wajah gadis yang ada dalam benaknya perlahan menjadi jelas.

Tirta sama sekali tidak mengerti apa yang terjadi dengan dirinya, dengan semestanya, dengan semuanya. Bahkan sampai detik ini, benaknya masih mencerna memori yang dia lalui bersama Aylin. Tanpa Aylin sadari, Tirta selalu memperhatikan gadis itu. 

Mendadak jari Tirta berhenti menyempurnakan sketsanya. Dia menghela napas panjang, melempar pandangannya ke luar jendela. Baru ingat sesuatu, dia harus menyelesaikan lukisan Aylin dengan pemandangan Air Terjun Staubbach yang dibuatnya di taman siang tadi. Tirta tidak mau mengingkari ucapannya sendiri.

Lantas tangannya bergerak membuka tas dan mengambil kanvas tersebut. Kemudian mengambil peralatan melukisnya.

Menghadap ke jendela, Tirta melanjutkan lukisannya. Lukisan yang dia buat untuk Aylin. Untuk seseorang yang singgah di pikirannya sejak lama, bahkan sebelum pertemuannya dengan gadis itu di kereta.

oOo

Aylin merasa senang sekaligus sedih menyambut hari esok. Sisa-sisa harinya di Lauterbrunnen. Padahal, Aylin ingin lebih lama di sini. Bersama Tirta menyusuri semua tempat, bahkan di pelosok sekalipun. Namun, ada tanggung jawab yang membuatnya tak bisa tinggal lebih lama. Yang membuatnya harus kembali ke Jakarta, menjalani hari-hari biasa. Dan entah kapan bisa kembali lagi ke tempat ini. Aylin berharap secepatnya.

Hanya tempat ini yang bisa membuatnya berat ingin pergi, seolah ada sesuatu yang menahannya. Mungkin karena kehadiran seseorang yang membuat liburannya semakin berwarna. Tanpa ada rencana tak terduga, dia bisa bertemu seorang laki-laki berkebangsaan Indonesia. 

Tiba-tiba ponselnya berdering. Panggilan masuk dari Tirta. Aylin langsung mengangkatnya dengan pikiran yang menerka-nerka.

"Halo, Ta? Kenapa telpon aku malem-malem begini?" Aylin melirik jam dinding yang menunjukkan pukul delapan malam.

"Saya ganggu kamu, ya?"

"Nggak, kok."

"Saya mau ngasih lukisan yang tadi siang. Udah jadi, nih. Kamu bisa keluar hotel sekarang, nggak?" 

"Oke, Ta. Tunggu aku, ya!"

Selalu saja mendadak. Bukan kesal, Aylin justru senang bertemu Tirta untuk melihat hasil lukisannya. 

Dia keluar dari hotelnya dan menemui Tirta yang tengah berdiri memandangi sekitar, dengan lukisan yang dia bawa di dalam totebag berwarna abu-abu tua. 

"Hai, Ta," sapa Aylin.

"Nih, buat kamu." Tirta mengulurkan tangan, menyerahkan totebag berisi lukisan karyanya kepada Aylin. 

Perempuan itu menerimanya dengan senang hati. "Makasih banyak, ya." 

"Saya nggak ganggu kamu, kan, malem-malem begini?" tanya Tirta, memastikan untuk yang kedua kalinya.

Aylin menggelengkan kepalanya. "Ya ampun, nggak, Ta. Ada juga kamu yang harusnya terganggu ngasih ini malem-malem. Kenapa nggak besok aja?"

Tirta menanggapinya dengan mengangkat bahu. "Sebenarnya saya sekalian jalan-jalan malem, sih, Lin."

Aylin hanya ber-oh ria, kemudian mengangguk kecil. Keheningan kembali tercipta di antara mereka selama beberapa detik. Sebelum akhirnya Tirta kembali angkat bicara.

"Saya mau tanya sesuatu boleh?" tanyanya.

"Boleh."

Aylin bergeser sedikit, hingga tepat berada di samping Tirta. Laki-laki itu menoleh untuk melemparkan senyum singkatnya kepada Aylin. Detik berikutnya, pandangannya kembali lurus ke depan.

Jarak di antara mereka begitu dekat, hingga wangi parfum Tirta menyambut indra penciuman Aylin. Wanginya seperti biskuit dan kopi, juga ada campuran wangi ... mangga? Entahlah. Aylin tidak bisa mendeskripsikan dengan jelas wanginya seperti apa. Intinya, parfum yang digunakan oleh laki-laki itu beraroma segar dan tidak menusuk hidung.

Aylin mengusap pembatas jalan yang terbuat dari besi, merasakan sensasi dingin yang menusuk kulitnya. Sementara Tirta membebankan lengannya pada pembatas jalan tersebut.

"Aylin," panggil Tirta dengan lembut diiringi deru air yang jatuh menghantam sesuatu di bawahnya. Suara Air Terjun Staubbach.

"Iya?"

"Menurut kamu, aneh nggak sih kalau sesuatu yang kita bayangkan bisa jadi nyata?" tanya Tirta diakhiri dengan embusan napas panjang. Seperti melepaskan sesuatu dalam dirinya. Sebenarnya Tirta belum siap untuk cerita, hanya saja dia ingin mendengar pendapat dari lawan bicaranya--yang sekaligus inti dari pertanyaan yang diajukan.

"Nggak aneh, sih. Buktinya, aku bisa ke sini. Ke Lauterbrunnen. Padahal, dulu aku kira negeri dongeng di dunia nyata itu nggak ada. Tapi ternyata, Lauterbrunnen mematahkan pikiran aku."

Aylin memandangi Tirta yang ada di sampingnya. "Tirta, dengerin aku, ya. Nggak ada hal yang aneh di dunia ini, karena semuanya itu udah diatur Tuhan. Mungkin kamu belum bisa percaya sama apa yang terjadi sekarang, tapi itu takdir kamu. Nggak ada yang aneh dengan hal itu, Ta," Aylin menekan kata terakhir yang diulangnya. Dia sendiri tidak tahu masalah apa yang tengah terjadi dengan Tirta. Tapi, banyak keajaiban yang berdatangan dalam hidupnya, membuatnya sudah tidak terkejut dengan hal yang tiba-tiba, bahkan yang terasa aneh sekalipun.

Tirta terdiam sejenak. Mencerna kata-kata Aylin. Diam-diam hatinya membenarkan hal itu. Tapi, bukan bayangan yang seperti itu yang Tirta maksud. Bukan bayangan yang mirip seperti impian. Melainkan bayangan yang benar-benar tergambar dalam pikirannya. Bukan hanya sekadar angan-angan.

"Iya, Lin. Kamu bener. Mungkin ini emang takdir," sahut Tirta kemudian. Jika benar ini adalah takdir, itu artinya Aylin adalah bagian dari takdirnya. Tirta menggeleng lemah, berusaha menyingkirkan pikiran yang tidak-tidak dari benaknya.

Dia memutuskan untuk merahasiakan hal tersebut dari Aylin, mengurungkan niat untuk memberitahu gadis itu. Sampai kapanpun akan selalu menjadi rahasianya sendiri. Tidak ada yang tahu selain dirinya dan Tuhan.

Tirta mengintip arloji yang melingkar di pergelangan tangannya. Waktu bergulir dan hari semakin malam. Dia harus menyudahi percakapan dengan Aylin.

"Aylin, saya ke hotel dulu, ya. Kamu jangan malem-malem tidurnya. Besok, kan, kita mau sepedahan," pamit Tirta. 

"Oke. Hati-hati, ya." 

Mereka saling melambaikan tangan. Setelahnya, Aylin masuk ke dalam hotelnya dan Tirta melenggang pergi dari tempat itu dengan percakapan singkat tadi yang membuatnya larut dalam pikiran sendiri.

oOo

Aylin membuka totebag abu-abu pemberian Tirta tersebut. Dikeluarkan lukisan wajahnya yang telah usai.

"Bagus," puji Aylin. Kemudian menggeleng, tertawa singkat. "Luar biasa," koreksinya sendiri, mengingat ucapan Tirta.

Dibaliknya lukisan itu, terdapat tulisan kecil di tengah-tengah kanvas. Di sana tertulis: Aylin dan Air Terjun Staubbach. Begini asal-usul nama Air Terjun Staubbach:

Saat musim panas, angin akan berputar di sekitar air terjun sehingga membuat air menyembur ke segala arah bak debu beterbangan dan sekilas seperti berkabut. Semprotan air itu dijuluki staub yang berarti debu oleh masyarakat setempat. Inilah yang menjadi cikal bakal nama air terjun Staubbach Falls. Penjelasan ini saya ambil dari Google, ya. Semoga bisa dimengerti :)

Aylin tertawa singkat jadinya. Padahal, Aylin juga tidak pernah penasaran atau bertanya-tanya sejarah dari air terjun tersebut. Namun, Tirta dengan baik hati memberikannya penjelasan singkat yang diambilnya dari internet. 

"Aylin," panggil Meylin dari luar pintu kamar. Mendengar itu, Aylin langsung beranjak dari tepi ranjang, menaruh lukisan tersebut, kemudian menuju pintu dan membukakannya.

"Kenapa, Kak?"

"Kakak tidur di sini, ya. Soalnya Mas Athar ngoroknya kenceng banget. Nggak kuat kuping kakak dengernya," ujar Meylin berlalu begitu saja melewati tubuh Aylin yang masih mematung di ambang pintu.

"Nggak lagi berantem, kan?"

"Nggak, Ay. Ya ampun," jawab Meylin. 

"Wih, lukisan siapa nih? Ini muka kamu?" Meylin mencecar Aylin dengan pertanyaan ketika melihat lukisan di atas kasur. Dipandanginya lukisan itu, hingga matanya menangkap watermark di pojok kanan bawah. 

Meylin mengernyit, berusaha memahami watermark yang bertuliskan Tirta Amarta dengan gaya tulisan tegak bersambung.

"Tirta? Ini Tirta yang ngelukis?" 

"Iya, Kak. Aku belum cerita ya sama kakak. Jadi, tadi siang Tirta ngelukis aku di Taman Valleywaterfall. Katanya buat kenang-kenangan."

Meylin mengangkat pandangannya dari lukisan indah itu. "Kayaknya dia suka sama kamu, deh."

Sontak, Aylin memundurkan wajahnya yang bingung. "Kakak nih ngomong apa, sih? Nggak mungkin lah dia suka sama aku. Kita kan baru kenal. Cinta nggak bakal datang secepat itu."

Meylin gemas, menoyor kepala adiknya yang sok tahu tentang cinta itu. Padahal Aylin belum pernah berkencan dengan laki-laki manapun di usianya yang kini menginjak dua puluh satu tahun. 

"Kamu tau apa tentang cinta, hah?"

Yang ditanya hanya menunjukkan deretan gigi putih. "Ya, pokoknya Tirta tuh nggak suka sama aku, Kak. Kita cuma temenan."

"Lah, memang kalo temenan nggak bisa punya perasaan suka, gitu?" 

Aylin mengempit bibir, tak bisa berkutik. Karena pada dasarnya, dia tidak memiliki jawaban atas pertanyaan kakaknya itu. Entah mengapa, ucapan Meylin memunculkan perasaan senang yang menyelimuti hatinya saat ini.

oOo


Lauterbrunnen in Memories - 4

November 25, 2022 0 Comments

Aylin menempel foto polaroid hasil jepretan Tirta tadi ke dalam buku catatan, tepatnya di halaman setelah foto polaroid Air Terjun Staubbach. Dia memandang puas fotonya. Kemudian menuliskan sesuatu di sana: By Tirta.


Aylin baru ingat sesuatu. Selama obrolan panjang yang mereka lalui selama ini, dia belum tahu nama panjang Tirta. Sebenarnya itu tidak terlalu penting, sih. Hanya saja Aylin ingin mencantumkan nama lengkap Tirta di buku catatannya untuk kenang-kenangan.


"Tirta, aku mau nanya boleh?"


Tirta yang tengah memainkan ponsel mengangkat pandangannya, menatap seseorang yang kini berada di seberangnya. "Iya?" 


"Nama lengkap kamu siapa, sih, Ta? Mau aku tulis di catatanku soalnya. Buat kenang-kenangan."


"Tirta Amarta," jawab Tirta. "Mau tau artinya?" Aylin mengangguk. 


Setelahnya, tangan Tirta menunjuk lurus ke arah air terjun yang ada di belakang Aylin. Otomatis, Aylin harus memutar badannya untuk melihat ada apa di sana. Dia tidak menemukan pemandangan berbeda di sana. Semuanya sama seperti yang dia lihat sebelumnya.


Lantas, alis Aylin berkerut. Tirta menurunkan tangan dan menanggapi kebingungan perempuan itu. 


"Arti nama saya itu air kehidupan." 


"Air kehidupan," Aylin membeo. "Bagus."


"Luar biasa," jawab Tirta diakhiri dengan kekehan renyah dari keduanya.


Tirta kemudian menaruh ponselnya ke saku celana, mengerahkan perhatian penuh kepada Aylin. "Nama panjang kamu siapa?" 


Aylin yang merasa gugup karena ditatap lamat-lamat oleh sang lawan bicara membenarkan posisi baretnya, salah tingkah. "Aku nggak punya nama panjang. Cuma Aylin." 


"Serius?" Tirta tertawa kecil.


"Iya, serius. Mungkin orangtuaku nggak mau capek mikir nama panjang. Aylin aja cukup."


"Iya, sederhana."


"Kamu lapar nggak?" tanya Tirta setelah melirik arlojinya. Waktu sudah menunjukkan pukul dua belas siang. Aylin menggeleng, tidak ingin membuang waktu untuk makan. Dia ingin cepat-cepat melanjutkan perjalanannya mengelilingi Lauterbrunnen. Namun, suara demo cacing kelaparan di perutnya membongkar kebohongannya, membuat Aylin menunjukkan deretan gigi putih. Merasa malu.


"Tuh, kan. Perut kamu nggak bisa bohong. Kita makan siang dulu, yuk?" Tirta sudah mulai beranjak dari posisi duduknya. Sekarang dia berdiri sembari merapihkan pakaiannya yang sedikit berantakan. Aylin ikut berdiri dan mengekori laki-laki itu.


"Kok kamu baik banget sih, Ta? Padahal aku nggak pernah kasih apa-apa sama kamu," kata Aylin tiba-tiba yang membuat Tirta mengernyitkan dahi sambil tersenyum, lantas tertawa kecil, khasnya. Aylin juga ikut mengerutkan alisnya, seolah bingung dengan ucapannya sendiri. Detik berikutnya, Aylin merasa malu dan menampar pelan bibirnya sendiri.


"Saya seneng bisa ketemu sama orang Indonesia di sini. Dan kayaknya kamu juga sefrekuensi sama saya. Suka berpetualang dan mencoba hal baru," Tirta menanggapi ucapan Aylin.


"Aku juga mau bales kebaikan kamu. Gimana kalo aku traktir kamu makan siang? Mau, ya? Aku nggak terima penolakan, lho."


Tirta tersenyum hingga lesung pipinya terlihat sangat dalam ketika melihat Aylin seperti anak kecil yang memaksa agar keinginannya dipenuhi. "Saya mau nolak juga nggak bisa, karena kamu udah bilang begitu." 


Mereka akhirnya berjalan meninggalkan tempat itu menuju ke The Bell Restaurant--restoran yang sama seperti yang mereka singgahi satu hari lalu. Karena hanya tempat itulah yang letaknya cukup dekat. Aylin juga merasa nyaman makan di sana karena pemandangan yang disuguhkan begitu indah. Tapi, kali ini dia ingin mencoba duduk di area indoor.


Memasuki area restoran, Aylin bertanya kepada Tirta. Tepat sebelum mereka masuk ke dalam bangunan berlantai dua tersebut. 


"Kita makan di dalem ruangan aja, ya, Ta?" izin Aylin. Tirta mengangguk, mengiyakan.


Kaki mereka melangkah masuk, dengan ruangan yang bernuansa coklat kayu di lantai dasar. Wangi berbagai makanan langsung menyeruak, memenuhi indra penciuman keduanya. Berbagai macam suara terdengar. Berisik, tapi menyenangkan. Musik yang menggema, orang-orang yang mengobrol dengan berbagai bahasa, derap langkah kaki, juga piring dan gelas berdenting dengan sendok ataupun garpu.


Aylin dan Tirta duduk bersebrangan. Namun, sensasi aneh yang dirasakan Aylin berbeda dengan hari-hari sebelumnya. Dia merasa salah tingkah, menundukkan pandangannya. Aylin pikir, ini adalah efek dari tatapan Tirta yang berlangsung lebih dari lima detik. 


Menunggu pelayan datang, Aylin menggerakan jari telunjuknya di atas meja, menggambar dengan khayalannya. Dia menggambar benang kusut. Sementara Tirta sibuk mengedarkan pandangannya, meneliti tempat itu.


Pelayan akhirnya datang ke meja mereka, menanyakan pesanan. Setelah menyebutkan pesanannya, pelayan itu mencatatnya di buku kecil, kemudian melenggang pergi. 


"Kamu liburan di sini sampai berapa hari?" Aylin yang tidak tahan jika harus berhadapan dengan kesunyian, mendorongnya untuk membuka pembicaraan di antara keduanya. Walaupun ada perasaan asing yang menyelimuti hati.


"Sepuluh hari, kamu?" sahut Tirta. Jika sedang berbincang, Tirta selalu memusatkan perhatian kepada lawan bicara. Dalam penilaian Aylin, Tirta adalah tipe orang yang sangat menghargai orang lain. 


"Tujuh hari."


"Berarti dalam waktu yang tersisa itu, kita harus mengunjungi banyak tempat, Lin. Kalo kamu mau, saya bisa temenin kamu." 


"Kamu baik banget, Tirta. Aku sebenarnya nggak mau ngerepotin kamu. Tapi, rugi juga rasanya kalo nolak ajakan kamu."


"Saya nggak pernah merasa direpotin. Saya malah seneng ada teman jalan. Karena tiga tahun lalu, saya liburan ke sini sendiri. Jalan-jalan sendiri. Semuanya serba sendiri. Tapi sekarang, saya tetep liburan sendiri, cuma bedanya saya ketemu kamu. Saya jadi punya temen dan nggak sendirian lagi."


Bisa Aylin rasakan, jika ucapan Tirta itu tulus adanya. Tidak ada sinyal yang menunjukkan jika Tirta ingin meminta sesuatu sebagai imbalannya. 


Musik berganti, membuat percakapan keduanya terhenti sesaat dan memandangi sekitar.


"Sebenarnya aku masih betah di sini, Ta. Tapi, mau gimana lagi, masih ada yang harus dikerjain di Jakarta. Semoga bisa ke sini lagi, deh," ujar Aylin.


"Kalo kamu liburan ke Swiss lagi, berkunjung ke Kota Bern, ya? Saya siap dua belas jam nganter kamu keliling Bern. Tapi maaf, dua belas jam sisanya saya nggak siap, karena butuh istirahat," kata Tirta diselingi dengan kata-kata jenaka.


Aylin tertawa, kemudian mengangguk. "Oke."


"Setelah lulus kuliah, kamu rencananya mau tinggal di Indonesia atau tetep di Swiss?" tanya Aylin.


"Bandung, Lin."


"Oh, berarti Indonesia, ya?"


"Di Swiss itu mah. Dingin soalnya." 


Keduanya tertawa kembali. Beruntung, percakapan itu mengalir tanpa ada rasa canggung yang sebelumnya Aylin rasakan. Seolah rasa itu ikut terbawa hanyut dalam obrolan mereka.


"Kamu ada waktu nggak buat besok pagi?" tanya Tirta.


"Aku selalu punya waktu, Ta."


"Saya mau ajak kamu keliling Lauterbrunnen pake sepeda. Sepedanya nyewa, deket sini ada tempat sewanya." 


"Ih, mau!" 


"Oke. Jangan sampai kesiangan, ya."


oOo


pict cr: pinterest

Lauterbrunnen in Memories - 3

November 25, 2022 0 Comments

Esok harinya, Aylin dan Tirta bertemu kembali di depan hotel yang menjadi tempat Aylin menginap bersama kakak perempuan dan kakak iparnya. Hotel itu terletak di Beim alten Schulhaus yang membelakangi pemandangan indah yang dilihat Aylin kemarin malam.


Hari ini, Tirta memakai sweater tebal dengan kedua lengan disisingkan. Terlihat arloji berwarna perak yang melingkar di pergelangan tangan kanannya, yang terkadang memantulkan cahaya. Dia menggendong tas ransel hitam yang berisi kanvas seukuran kertas A4, beserta perlengkapan melukis lainnya.


Sementara Aylin hari ini memakai pakaian terbaiknya. Dia mengenakkan long coat berwarna beige, dengan perpaduan baret wol coklat susu yang menutupi kepalanya. Rambut panjangnya yang dibiarkan tergerai sepunggung, sesekali terbang terkena angin.


"Kamu udah selesai lukis foto kakek nenek itu?" tanya Aylin kepada Tirta. Mereka tengah dalam perjalanan menuju Taman Valleywaterfall yang akan menjadi tempat Tirta melukis wajah gadis itu. Sesuai namanya, taman itu berada dekat dengan Air Terjun Staubbach. Sekaligus melukis pemandangan alam kesukaaan Aylin sebagai background-nya. 


"Belum, tapi udah hampir jadi. Sekitar delapan puluh persen. Kalo udah, nanti saya kasih tau."


Tak terasa perjalanan yang memakan waktu kurang lebih sepuluh menit itu berakhir. 


"Sebelum ngelukis, saya mau kasih tau sesuatu sama kamu," kata Tirta setelah mereka sudah berada di area taman. Aylin jadi penasaran dibuatnya. Dia mengikuti langkah Tirta yang membawanya ke suatu tempat. 


Terlihat dua batu besar, bersama dengan pegas beton di lantai, membentuk tugu. Aylin tidak tau tugu apa itu. Jari Tirta menunjuk ke salah satu batu yang terdapat tulisan dalam Bahasa Jerman dan Bahasa Inggris di sana. Aylin berusaha membacanya dalam hati, walaupun dia hanya mengerti arti dari tulisan yang berbahasa Inggris. 


Gedenkstätte für Unglücksopfer im Lauterbrunnental

Lieu comméoratif pour les viotimes d'un accident dan la vallée de Lauterbrunnen

Memorial for casualities in the Lauterbrunnen Valley


"Ini tugu peringatan untuk para korban yang kecelakaan di lembah Lauterbrunnen," jelas Tirta yang menjawab rasa penasaran Aylin. 


Tugu itu seperti mengundangnya untuk berlama-lama di sini, larut dalam pikiran. Aylin menoleh untuk melihat Air Terjun Staubbach sekali lagi, sebelum akhirnya fokusnya kembali pada dua batu besar di hadapannya. Ternyata setiap tempat memiliki memori tersendiri, baik itu sedih ataupun bahagia. Bahkan di tempat seindah ini, ada kisah memilukan yang menyelimutinya. Dalam hati, Aylin berdoa untuk ketenangan pada korban diakhiri dengan mengusap salah satu batu tersebut.


"Ada jenazah yang dikubur di sini?" tanya Aylin.


"Nggak. Ini cuma tugu."


"Kamu tau banyak soal Lauterbrunnen, ya?"


"Nggak terlalu. Cuma saya pernah ke sini tiga tahun lalu, dan sekarang berkunjung ke sini lagi. Jadi, ya, lumayan tau banyak tempat di Lauterbrunnen."


Tak heran jika Tirta tahu banyak tempat menarik di desa ini. Aylin jadi merasa punya teman sekaligus guide yang tak dibayar. Dan lagi, dia sangat beruntung bisa bertemu dengan Tirta.


"Ayo, kita mulai ngelukis. Kamu siap, kan?" tanya Tirta memastikan. Ditanya seperti itu, Aylin malah merasa gugup. Namun, respon yang diberikan tetaplah anggukan kepala. Semata-mata untuk menghargai Tirta yang terlihat bersemangat untuk melukis dirinya. Dia tidak mau membuat Tirta kecewa dengan mengatakan 'belum siap'. 


Ayolah, Ay. Kamu cuma mau dilukis, bukan mau ditembak, batin Aylin. 


Tirta menepuk-nepuk bangku taman panjang berwarna coklat tua, mengisyaratkan Aylin untuk duduk di situ. Tepat di belakangnya, air terjun tertinggi di Eropa itu menjulang. Harus dia akui, Tirta benar-benar pandai dalam memilih spot.


Laki-laki itu duduk di bangku yang berada di seberangnya. Mengeluarkan semua peralatan melukis yang dia bawa dari dalam tas.


"Tirta, boleh fotoin aku sebentar?" 


"Boleh."


Mendengar itu, Aylin membuka tas ranselnya dan mengambil kamera polaroid untuk diberikan kepada Tirta. Laki-laki itu menerimanya diiringi dengan senyuman yang membuat Aylin semakin gugup. 


"Senyum, ya."


Aylin menyunggingkan senyum kakunya. Detik-detik dirinya ingin dilukis, rasa gugupnya semakin menguasai hati, minta dilayani. Saat foto itu keluar, Tirta maju beberapa langkah untuk memberikan foto itu pada Aylin. Gadis itu menyambut uluran tangan Tirta, kemudian mengibaskan fotonya agar cepat terlihat jelas. Setelah jelas, Aylin tersenyum kecut. Pemandangannya bagus, tapi dirinya terlihat sangat kaku.


"Sekali lagi," tukas Tirta. Kakinya mundur beberapa langkah sampai ke titik semula, sembari membidik kamera layaknya seorang fotografer handal.


Aylin bergaya dengan memegang ujung baret wolnya. Berharap hasilnya akan bagus dan sesuai ekspektasi. Karena sejujurnya, Aylin tidak terbiasa difoto dengan kamera belakang. Dia lebih suka swafoto dan ingin bisa swafoto dengan kamera miliknya itu. Sayangnya kamera polaroid tidak bisa mewujudkan keinginannya.


Foto itu keluar, dan hasilnya bagus. Bisa dikatakan foto ini adalah foto terbaik menurutnya.


"Makasih, Tirta. Sumpah, ini bagus banget," tukas gadis itu, masih terus memandangi fotonya. Kemudian memasukkan kamera beserta kedua foto itu ke dalam tas. Kamera dan foto yang tadi berada di tangannya, kini tergantikan oleh sebuah ponsel. 


"Sekarang, udah bisa kita mulai, ya?"


"Iya, tapi tunggu sebentar. Aku mau putar lagu boleh, ya?"


"Iya, Lin."


Aylin memutar lagu yang ada di ponselnya. Lagu pertama yang dipilihnya untuk diputar berjudul Ragu, yang dinyanyikan oleh Rizky Febian. Setelahnya, dia menaruh ponselnya di samping tubuh dan duduk tenang dengan badan yang tegap. Tangannya berada di atas paha, berusaha untuk tidak bergerak sama sekali. Dia sedikit tersenyum, entah kentara atau tidak jika dilihat orang. Berharap, agar ini tidak berlangsung lama. 


Tirta mulai menggambar sketsa menggunakan pensil, sebelumnya akhirnya menuangkan warna di atas kanvas menggunakan kuas yang beragam.


Kegugupan Aylin rupanya tidak memudar seiring berjalannya waktu. Justru rasa gugup itu semakin bertambah, apalagi Tirta menatapnya lama. Mata mereka beradu, dan laki-laki itu melemparkan senyum sesaat. Lalu kembali fokus pada kegiatan melukisnya, diiringi lagu Berdua Bersama dari Jaz yang kini tengah berputar.


Aylin merasa ada yang tidak beres dengan jantungnya ketika Tirta menatapnya lebih dari lima detik. Walaupun dia tahu, itu hanya untuk keperluan melukis, tapi tetap saja, organ tubuhnya tidak bisa dibohongi. 


"Pegel, ya?" tanya Tirta setelah melihat kegelisahan gadis itu.


"Nggak, kok."


Setidaknya sudah sepuluh lagu yang terputar membunuh kesunyian di antara mereka. Tidak ada percakapan yang terlontar dari keduanya. Tirta yang sibuk menyelesaikan lukisannya, juga Aylin yang tidak mau mengganggu laki-laki itu.


"Udah hampir selesai, sabar, ya." Suara Tirta terdengar dalam dan ... lembut.


"Iya, aku sabar kok." 


Tirta menatap Aylin sekali lagi, kemudian tersenyum lagi. Kali ini terlihat lebih merekah daripada sebelumnya.


Seharusnya Tirta adalah pemandangan yang membosankan, karena dilihat lama. Terhitung sudah hampir satu jam waktu berjalan. Tapi, entah mengapa, Aylin justru semakin ingin menatapnya. Memperhatikan tiap gerakan laki-laki itu.


Alis yang kadang bertaut jika tengah menorehkan warna pada kedetailan tertentu, tangan yang bergerak ke sana dan ke mari, kuas yang menari di atas kanvas, arloji yang memantulkan cahaya matahari, dan lesung pipi yang terlihat tatkala Tirta tersenyum. Semuanya terekam dalam ingatan Aylin.


"Kalau kamu capek bilang aja. Biar kamu istirahat, atau mau foto-foto sekitar. Soal lukisan, saya bisa lanjut nanti di hotel," kata Tirta.


"Tapi, kan, nggak ada aku? Apa aku harus ke hotel kamu, gitu?"


"Nggak perlu, Lin. Saya udah inget detail wajah kamu dan pemandangannya."


oOo 


pict cr: pinterest


Lauterbrunnen in Memories - 2

November 25, 2022 0 Comments

Suara decitan pintu dibuka membuat Aylin yang tengah menulis sebuah puisi akhirnya menoleh ke asal suara. Terlihat Meylin mengenakan mantel berbulunya, dengan Athar di samping perempuan itu.


"Ay, kakak mau jalan-jalan dulu, ya, sama Mas Athar. Kakak minjem kamera kamu dong. Buat foto-foto," ujar Meylin yang kini berdiri di ambang pintu bersama Athar. 


"Kakak mah kebiasaaan. Kalo mau masuk, ketuk dulu, baru buka. Kamera Aylin mau dipake, soalnya mau jalan sama Tirta."


Air muka Meylin langsung berubah, dengan senyum yang ikut terkembang dari bibir mungilnya. "Cie, cie. Baru sehari di sini udah deket aja nih sama cowok."


"Gas, Ay, hahaha." Athar ikut tertawa, membuat dahi Aylin berkerut seperti kulit siomay.


"Maksud kalian apa, sih? Kan, Aylin cuma mau jalan-jalan malem doang?"


"Ya udah jalan-jalan aja sana. Tapi kakak pinjem dulu kameranya. Sebagai gantinya, nanti kakak beliin kamu croissant, deh."


Aylin mendesis sebal, sebenarnya hanya pura-pura sebal. Dia lantas beranjak dari duduk dan mengambil kameranya dari dalam tas yang ditaruh di atas nakas, kemudian memberikannya kepada Meylin. 


"Makasih, cantik," kata Meylin. Adik kecilnya hanya merespon dengan memutar bola matanya.


"Ya udah sana. Puas-puasin mesra-mesaraanya." 


Aylin mengibaskan tangannya, seperti gerakan mengusir. Namun, diiringi dengan tawa. Setelah keduanya pergi, Aylin kembali menutup pintunya. Bersamaan dengan itu, suara ponselnya berbunyi. 


Dengan gerakan cepat, Aylin menuju ke sumber suara itu berasal. Layar ponselnya kini menunjukkan panggilan dari Tirta. Segera ia mengangkatnya.


"Halo?" kata Aylin yang lantas membasahi bibirnya.


"Saya di luar hotel kamu. Keluar, ya. Sesuai janji, saya mau ajak kamu jalan-jalan."


Mendengar itu, refleks Aylin memanjangkan lehernya agar dapat melongok ke jendela. Terlihat di bawah sana Tirta tengah berdiri menunggunya. Kemudian dia menarik kepalanya kembali. "Kasih aku waktu lima menit. Aku mau siap-siap dulu."


"Oke."


Atas persetujuan itu, Aylin lantas mematikan panggilannya dan segera bersiap untuk jalan-jalan malam mengelilingi Desa Lauterbrunnen bersama Tirta. Dia tidak berekspektasi tinggi, karena suasana di sekitar gelap dan sepi. Hanya ada lampu jalan yang minim penerangan dan lampu dari bangunan sekitar yang tak banyak membantu. Aylin berharap, malam ini bisa berkesan walau tanpa kamera kesayangannya.


Kini Aylin bersama Tirta berjalan beriringan, menyusuri Desa Lauterbrunnen di gelapnya malam. Aylin sempat berpikir, keadaan desa ini di malam hari tidak seindah seperti waktu siang. Di mana semuanya terlihat jelas, bermandikan cahaya matahari. Namun, dirinya salah. Karena dengan penerangan yang minim, justru bintang-bintang yang bertaburan di atas langit Lauterbrunnen terlihat jelas. Tidak ada polusi cahaya seperti di kota-kota besar. 


Baru kali ini Aylin sangat takjub melihat bintang yang sungguh luar biasa indahnya. Karena di Jakarta, Aylin jarang sekali melihat pemandangan seindah ini. Terkadang, langit malam di ibukota Indonesia itu tidak nampak bintang sama sekali. Hanya ada bulan yang seperti selalu mengikuti langkahnya kemanapun dia pergi.


Sayangnya Aylin tidak membawa kamera merah muda miliknya. Sedikit banyak dia berharap, kakaknya mau mengambil gambar langit malam yang indah ini untuk dirinya. 


"Langitnya bagus, ya?" Aylin sebenarnya hanya bergumam, namun seseorang di sampingnya tak sengaja dengar.


"Kayaknya kata bagus aja kurang. Apa kata yang lebih daripada bagus?" tanya Tirta. 


"Bagus banget?" jawab Aylin yang lebih menjurus kepada pertanyaan. Sebelah alisnya ikut terangkat.


"Luar biasa kayaknya cocok," jawab Tirta.


Aylin tertawa kecil. "Oh, ya. Luar biasa."


Aylin menghentikan langkahnya di parkiran mobil sebuah hotel, diikuti oleh Tirta yang juga berhenti dan berdiri di sampingnya. Dari tempat itu, hamparan luas rumput terlihat dengan kondisi tanah yang miring. Pandangannya terbatas pada tebing yang punggungnya dipenuhi pepohonan. Jikalau siang hari, pemandangan ini pasti terlihat sangat indah. 


Setelahnya, hening menguasai suasana. Aylin tak bisa hanya memandang ke satu sisi. Namun, yang menyita perhatiannya lagi-lagi Air Terjun Staubbach yang terlihat bersinar berkat penerangan dari salah satu bangunan. 


"Aylin, kamu lebih suka bulan atau bintang?" tanya Tirta yang merobek kesunyian di antara mereka. 


"Bintang."


"Kira-kira bintang kalau ditawar berapa, ya, harganya?"


Aylin mengernyitkan dahi, lantas tertawa. "Maksud kamu apa?"


"Saya cuma pengen beli bintang buat nerangin Lauterbrunnen. Tau lagu Ambilkan Bulan Bu?"


"Tau, dong. Bisa dibilang itu lagu favoritku waktu kecil. Kenapa?"


"Saya dulu sering nyanyiin lagu itu ke Ibu saya. Tapi, sampai sekarang Ibu saya nggak pernah ngasih bulan itu ke saya." 


Tawa Aylin kembali pecah. Tirta yang terlihat tenang, ternyata cukup jenaka juga. Atau mungkin, laki-laki itu hanya tidak ingin malam yang indah ini terlewatkan begitu saja tanpa adanya percakapan. Tapi bagi Aylin, Tirta adalah orang yang asyik untuk menjadi guide-nya suatu hari jika dia berkesempatan mengunjungi Ibukota Swiss, Kota Bern. Kota yang menjadi tempat tinggal Tirta sementara selama di Swiss.


"Kamu mau saya lukis nggak, Lin?" 


Pertanyaan tiba-tiba yang terlontar dari mulut Tirta itu membuat Aylin yang tengah khidmat menikmati pemandangan Air Terjun Staubbach, menoleh. Senyumnya perlahan memudar karena reaksi terkejutnya. Entah ini murni terkejut atau apa, tapi Aylin merasa canggung jika wajahnya dilukis dengan orang yang baru dia kenal beberapa hari ini. 


Yang ada dibayangannya adalah, dirinya akan selalu diperhatikan setiap saat oleh sang pelukis. Juga akan ditatap dengan intens demi detail-detail agar lukisan yang dihasilkan terlihat seperti nyata. Dan hal itulah yang membuat Aylin merasa gugup.


"Kenapa kamu mau ngelukis aku?" Aylin sepertinya butuh alasan terlebih dulu, sebelum memberikan persetujuan.


"Buat kenang-kenangan. Nanti lukisannya buat kamu."


Pandangan beredar ke atas langit, seperti mencari jawaban di atas sana. Sebelum akhirnya memutuskan untuk menjawab tawaran Tirta.


"Nggak ngerepotin kamu, kan, tapi?" tanya Aylin. Sedikit ragu. Dia meraba pembatas yang terbuat dari besi, seperti menyalurkan rasa ragunya.


"Nggak, justru saya malah seneng ngelukis kamu. Anggap aja, ini sebagai imbalan karena kamu udah minjemin buku kamu yang keren itu sama saya." 


Aylin akhirnya mengangguk dengan ujung bibir yang terangkat, membentuk senyuman. Tirta membalas senyumnya, beriringan dengan munculnya lesung pipi yang menambah kesan manis di wajah laki-laki itu.


"Kalo gitu, kita jalan lagi, yuk?" Tirta merapatkan jaket kulitnya sambil menghela napas panjang. Keduanya melangkahkan kaki, beranjak dari tempat itu.


oOo


pict cr: pinterest


Lauterbrunnen in Memories - 1

November 25, 2022 0 Comments

Aylin mengangkat kamera polaroid merah mudanya tinggi-tinggi, mencari view yang terbaik menurutnya. Tak jauh dari tempat ia duduk, menjulang tinggi Air Terjun Staubbach, yang merupakan air terjun bebas paling tinggi di Eropa. Entah sudah berapa kali Aylin berdecak kagum melihat keindahan air yang turun dari ketinggian kurang lebih tiga ratus meter dari lembah gantung. 


Air Terjun Staubbach itu berhasil diabadikan dalam foto polaroid yang keluar dari kamera mungil miliknya. 


Kini Aylin tengah berada The Bell Restaurant yang terletak di Auf der Fuhren. Dia sengaja memilih duduk di area outdoor agar dapat memanjakan mata dengan pemandangan yang tak akan pernah bosan dilihatnya. Sembari menikmati Swiss Tacos bersama seorang laki-laki berkebangsaan Indonesia yang tengah menempuh pendidikan di Kota Bern. Namanya Tirta. Liburan kali ini, laki-laki itu memilih Desa Lauterbrunnen untuk melepas penatnya hidup di kota. Sama seperti Aylin yang ingin refreshing dari kesibukannya mengurus bisnis lulur organik. Bisnis yang ia rintis bersama kakak perempuanya dua tahun lalu. Aylin dan Tirta tak sengaja bertemu di kereta, ketika keduanya hendak menuju ke tempat ini. Dan Aylin merasa beruntung akan hal itu.


Sudah lama Desa Lauterbrunnen ini tertulis dalam wishlist tempat yang ingin Aylin kunjungi. Aylin bisa datang ke sini juga karena ikut berlibur bersama kakak perempuannya--Meylin--yang tengah honeymoon dengan suaminya--Athar. Aylin merasa hanya menjadi nyamuk di antara mereka berdua. Tapi, bukan berarti mereka bertiga satu kamar. Aylin berada di kamar yang berbeda tentu saja. 


Waktu kecil, Aylin pernah memiliki impian ingin pergi ke negeri dongeng. Kemudian dia akan bertemu pangeran tampan dan menikah dengannya. Bahagia selamanya.  Kini impiannya terwujud, walaupun tak sesuai ekspektasinya. Tetapi baginya, Desa Lauterbrunnen adalah negeri dongeng di dunia nyata. Tidak ada pangeran, yang ada hanya bahagia.


Di sela-sela makannya, Aylin mengambil sesuatu dari tas ranselnya. Sebuah buku catatan bersampul coklat yang tertera tulisan Kisah Aylin dan Alam di tengah-tengahnya. 


Foto polaroid keindahan Air Terjun Staubbach tadi ditempel dalam buku catatan tersebut, kemudian Aylin mengeluarkan pulpennya. Dia menuliskan sesuatu di sana,


Air Terjun Staubbach dengan perasaan euforia yang tengah memenuhi ruang hatiku. 


"Kamu nulis apa?" tanya Tirta tiba-tiba ketika dia sudah menyelesaikan kunyahan di mulutnya. 


Aylin yang tengah tersenyum memandangi catatan barunya, mengangkat pandangannya. "Oh, ini. Aku kalau lagi traveling suka nulis catatan, semacam jurnal perjalananku gitu, deh. Biar kalau udah tua bisa inget-inget lagi, aku pernah ke tempat tersebut." 


"Saya boleh lihat?" 


Aylin mengangguk dan memberikan buku tersebut kepada Tirta. Laki-laki itu menyingkirkan piringnya ke samping, agar tidak mengenai buku catatan milik Aylin.


Tirta membuka halaman sebelumnya dan membacanya dengan serius. Di lembar itu terdapat foto pemandangan Desa Lauterbrunnen di Swiss yang diambilnya dari atas tebing sewaktu mengunjungi Air Terjun Trümmelbach. Air terjun yang tersembunyi di antara tebing-tebing pegunungan.


Di bawah foto Desa Lauterbrunnen yang diambil dari atas tebing tadi, Aylin menuliskan deskripsi mengenai keindahan desa itu. Beberapa di antaranya, ia dapatkan dari Google sebagai pelengkap tulisannya.


Desa Lauterbrunnen terletak di sebelah tenggara kota Bern dan berada di sepanjang kaki pegunungan batu yang membentuk huruf U. Dikelilingi tiga gunung besar di Swiss yang masuk dalam bagian pegunungan alpen, yaitu Eiger, Monch dan Jungfrau. Seolah kombinasi itu belum cukup, bagian inti yang paling indah menurutku adalah, desa ini dihiasi dengan tujuh puluh dua air terjun. Tempat ini adalah negeri dongeng di dunia nyata. Sungguh!


"Kamu udah pernah ke Raja Ampat juga, ya?" tanya Tirta ketika membuka halaman pertama catatan Aylin. Di halaman itu terdapat foto keindahan Raja Ampat di Papua, tempat di mana jiwa traveling-nya mulai tumbuh. Karena sepulang dari sana, Aylin merasa damai dan tentram ketika menyatu dengan alam, ciptaan Tuhan Yang Maha Agung. Membuat dirinya ingin kembali mengunjungi wisata alam yang tersebar seantero dunia.


"Iya, itu awal mula perjalanan aku mengunjungi tempat wisata alam di dunia."


Sinar matahari keemasan menyinari wajah Tirta. Aylin melihat laki-laki itu dengan seksama. Penampilannya sederhana, namun tak terlihat membosankan bila dipandang lama. Mungkin itu karena efek lesung pipi yang cukup dalam terlihat ketika dia tersenyum. Kali ini Tirta memakai long coat berwarna hitam dengan syal kotak-kotak yang terlilit di lehernya. Suaranya ramah, selalu menggunakan saya-kamu. Sefrekuensi dengan Aylin yang merasa canggung ketika bicara dengan bahasa lo-gue. Karena dalam kesehariannya, Aylin juga menggunakan aku-kamu kepada teman-temannya.


Tirta mengangkat wajahnya sebentar, sebelum akhirnya kembali fokus kepada buku catatan Aylin dalam genggamannya. "Keren, saya jadi mau ke tempat yang kamu kunjungi. Ke Raja Ampat aja saya belum pernah." 


"Kapan-kapan ke sana, yuk? Kalo kamu pulang ke Indonesia," ajak Aylin. 


"Bareng sama kamu?"


"Kalo kamu mau."


"Boleh."


Tidak ada percakapan lagi setelah itu. Tirta kembali melanjutkan kegiatannya membaca buku catatan Aylin.


Sementara Aylin, merasa tangannya gatal, ingin mengambil gambar di tempat ini sebanyak-banyaknya. Pada akhirnya, dia mengambil kembali kamera polaroid yang tergeletak di atas meja. Aylin memutar tubuhnya ke samping, dan mengarahkan kameranya untuk mengambil gambar pegunungan yang terlihat indah dari kejauhan. Tak sengaja, pasangan berusia lanjut yang tengah bergandeng tangan sembari tertawa tertangkap oleh kameranya. Membuat senyum Aylin merekah semakin lebar ketika foto polaroid tersebut keluar. 


"Tirta, Tirta. Lihat deh, aku nggak sengaja foto kakek nenek ini. Romantis banget, ya." 


Aylin menunjukkan fotonya kepada Tirta. Laki-laki itu menaruh buku catatan Aylin di atas meja, dan menerima uluran tangan gadis itu.


"Ini keren banget, boleh saya pinjem?"


Gadis itu mengernyit jadinya. "Buat apa?" tanyanya dengan nada menggantung.


"Mau saya lukis. Bakal saya kembaliin, kok. Tenang aja."


"Kamu jago ngelukis, ya?"


"Bukan jago, cuma suka," jawab Tirta cepat dengan tangan yang terulur memberikan kamera polaroid itu kepada Aylin. Setelahnya, dia membaca kembali buku bersampul coklat itu, seolah ingin membaca keseluruhannya.


"Kalo kamu mau baca bukuku sampe habis, bawa aja. Besok, kita ketemu lagi di sini," ujar Aylin dengan hati-hati, takut mengganggu ketenangan Tirta yang tengah asyik membaca. 


"Boleh?" 


"Ya bolehlah, Tirta. Kan, aku yang nawarin. Gimana, sih." 


"Kamu ada waktu nggak nanti malam?" 


"Ada, Ta. Kenapa?"


"Saya mau ajak kamu jalan keliling desa nanti malem. Kalau malem hari, pasti langitnya bagus."


Aylin mengangguk cepat dengan perasaan bahagia. Dia akan sangat menantikan malam ini.


Sore itu, mereka berdua menghabiskan waktu di restoran, menikmati matahari yang perlahan turun sampai bersembunyi di balik pegunungan. 


oOo


pict cr: pinterest

Kamis, 02 Desember 2021

Takut

Desember 02, 2021 0 Comments
Aku yakin, setiap orang pernah mengalami hal ini. Rasa takut menghadapi hari esok. Takut sesuatu yang kita tidak inginkan akan terjadi. Rasanya ingin melintasi waktu untuk melewati hari tersebut. Tapi sadar, itu hanyalah angan semata yang nggak akan menjadi kenyataan sampai kapanpun. Mencoba lari dari kenyataan, melayani rasa takut yang semakin menguasai relung hati. Namun, nggak ada gunanya. Karena, satu-satunya cara mengatasi masalah yaitu dengan menghadapinya. Nggak ada jalan lain. 

Aku pernah, bahkan sering mengalami perasaan tersebut. Rasa tidak nyaman timbul ketika kita merasa takut dengan situasi dan kondisi pada saat itu. 

Kalau aku pribadi, biasanya perasaan takut itu muncul menjelang ujian. Rasanya mau cepat-cepat melewati hari-hari saat ujian berlangsung. 

Semakin ke sini, aku semakin sadar. Kalau hari esok jangan terlalu dipikir berlarut-larut. Percuma. Yang ada, kita bakal jadi down dan merasa terbebani.

Sekarang, aku belajar menerima keadaan. Mau itu buruk, mau itu baik, jalanin aja. Enjoy your life. Aku sayang diri aku, terutama dengan kesehatan mental diri sendiri yang sepatutnya dijaga. Dengan memikirkan sesuatu hingga berlarut-larut, sama saja dengan menyiksa diri kita yang sudah berjuang dalam segala hal.

Kalau perasaan takut itu masih ada, aku melakukan hal-hal yang membuat aku lebih tenang. Seperti membaca novel, menggambar, atau menulis curhatan seperti ini misalnya. Setelah melakukan hal-hal yang membahagiakan seperti itu, biasanya perasaanku akan jauh lebih baik.

Untuk kamu yang masih takut menghadapi hari kedepannya, aku cuma mau berpesan. Kita mau memberontak sekeras apapun, hari itu akan tetap terjadi, kan? So, nggak ada cara lain selain menjalaninya.

Selasa, 30 November 2021

Fase Hidup

November 30, 2021 0 Comments
Kadang rasa gagal membuat kita enggan beranjak, dan memulai lagi harapan baru. Karena, ya, takut gagal lagi. Jatuh lagi. Dan begitu seterusnya.

Fase di mana semangat kita seolah berada di titik kurva terendah. Takut mencoba lagi, dan mengurung diri dari dunia. Merasa payah, kecewa, dan nggak mau lagi berharap untuk ke depannya.

Awalnya sulit banget bangkit dari keterpurukan. Tapi, kalau terus-terusan begitu, hidup ini bakal stuck di fase yang sama. Dalam keadaan yang sama, karena kita sendiri yang nggak mau merubah keadaannya.

Perlahan tapi pasti, coba membenahi diri. Dengan membangkitkan kepercayaan terhadap diri sendiri kalau ini nggak akan berlangsung lama. Dalam kehidupan memang ada fase seperti itu. Tapi, ibarat roda yang selalu berputar, nantinya akan ada fase di mana semua rasa kecewa itu terbayarkan.