Jumat, 25 November 2022

Lauterbrunnen in Memories - 4


Aylin menempel foto polaroid hasil jepretan Tirta tadi ke dalam buku catatan, tepatnya di halaman setelah foto polaroid Air Terjun Staubbach. Dia memandang puas fotonya. Kemudian menuliskan sesuatu di sana: By Tirta.


Aylin baru ingat sesuatu. Selama obrolan panjang yang mereka lalui selama ini, dia belum tahu nama panjang Tirta. Sebenarnya itu tidak terlalu penting, sih. Hanya saja Aylin ingin mencantumkan nama lengkap Tirta di buku catatannya untuk kenang-kenangan.


"Tirta, aku mau nanya boleh?"


Tirta yang tengah memainkan ponsel mengangkat pandangannya, menatap seseorang yang kini berada di seberangnya. "Iya?" 


"Nama lengkap kamu siapa, sih, Ta? Mau aku tulis di catatanku soalnya. Buat kenang-kenangan."


"Tirta Amarta," jawab Tirta. "Mau tau artinya?" Aylin mengangguk. 


Setelahnya, tangan Tirta menunjuk lurus ke arah air terjun yang ada di belakang Aylin. Otomatis, Aylin harus memutar badannya untuk melihat ada apa di sana. Dia tidak menemukan pemandangan berbeda di sana. Semuanya sama seperti yang dia lihat sebelumnya.


Lantas, alis Aylin berkerut. Tirta menurunkan tangan dan menanggapi kebingungan perempuan itu. 


"Arti nama saya itu air kehidupan." 


"Air kehidupan," Aylin membeo. "Bagus."


"Luar biasa," jawab Tirta diakhiri dengan kekehan renyah dari keduanya.


Tirta kemudian menaruh ponselnya ke saku celana, mengerahkan perhatian penuh kepada Aylin. "Nama panjang kamu siapa?" 


Aylin yang merasa gugup karena ditatap lamat-lamat oleh sang lawan bicara membenarkan posisi baretnya, salah tingkah. "Aku nggak punya nama panjang. Cuma Aylin." 


"Serius?" Tirta tertawa kecil.


"Iya, serius. Mungkin orangtuaku nggak mau capek mikir nama panjang. Aylin aja cukup."


"Iya, sederhana."


"Kamu lapar nggak?" tanya Tirta setelah melirik arlojinya. Waktu sudah menunjukkan pukul dua belas siang. Aylin menggeleng, tidak ingin membuang waktu untuk makan. Dia ingin cepat-cepat melanjutkan perjalanannya mengelilingi Lauterbrunnen. Namun, suara demo cacing kelaparan di perutnya membongkar kebohongannya, membuat Aylin menunjukkan deretan gigi putih. Merasa malu.


"Tuh, kan. Perut kamu nggak bisa bohong. Kita makan siang dulu, yuk?" Tirta sudah mulai beranjak dari posisi duduknya. Sekarang dia berdiri sembari merapihkan pakaiannya yang sedikit berantakan. Aylin ikut berdiri dan mengekori laki-laki itu.


"Kok kamu baik banget sih, Ta? Padahal aku nggak pernah kasih apa-apa sama kamu," kata Aylin tiba-tiba yang membuat Tirta mengernyitkan dahi sambil tersenyum, lantas tertawa kecil, khasnya. Aylin juga ikut mengerutkan alisnya, seolah bingung dengan ucapannya sendiri. Detik berikutnya, Aylin merasa malu dan menampar pelan bibirnya sendiri.


"Saya seneng bisa ketemu sama orang Indonesia di sini. Dan kayaknya kamu juga sefrekuensi sama saya. Suka berpetualang dan mencoba hal baru," Tirta menanggapi ucapan Aylin.


"Aku juga mau bales kebaikan kamu. Gimana kalo aku traktir kamu makan siang? Mau, ya? Aku nggak terima penolakan, lho."


Tirta tersenyum hingga lesung pipinya terlihat sangat dalam ketika melihat Aylin seperti anak kecil yang memaksa agar keinginannya dipenuhi. "Saya mau nolak juga nggak bisa, karena kamu udah bilang begitu." 


Mereka akhirnya berjalan meninggalkan tempat itu menuju ke The Bell Restaurant--restoran yang sama seperti yang mereka singgahi satu hari lalu. Karena hanya tempat itulah yang letaknya cukup dekat. Aylin juga merasa nyaman makan di sana karena pemandangan yang disuguhkan begitu indah. Tapi, kali ini dia ingin mencoba duduk di area indoor.


Memasuki area restoran, Aylin bertanya kepada Tirta. Tepat sebelum mereka masuk ke dalam bangunan berlantai dua tersebut. 


"Kita makan di dalem ruangan aja, ya, Ta?" izin Aylin. Tirta mengangguk, mengiyakan.


Kaki mereka melangkah masuk, dengan ruangan yang bernuansa coklat kayu di lantai dasar. Wangi berbagai makanan langsung menyeruak, memenuhi indra penciuman keduanya. Berbagai macam suara terdengar. Berisik, tapi menyenangkan. Musik yang menggema, orang-orang yang mengobrol dengan berbagai bahasa, derap langkah kaki, juga piring dan gelas berdenting dengan sendok ataupun garpu.


Aylin dan Tirta duduk bersebrangan. Namun, sensasi aneh yang dirasakan Aylin berbeda dengan hari-hari sebelumnya. Dia merasa salah tingkah, menundukkan pandangannya. Aylin pikir, ini adalah efek dari tatapan Tirta yang berlangsung lebih dari lima detik. 


Menunggu pelayan datang, Aylin menggerakan jari telunjuknya di atas meja, menggambar dengan khayalannya. Dia menggambar benang kusut. Sementara Tirta sibuk mengedarkan pandangannya, meneliti tempat itu.


Pelayan akhirnya datang ke meja mereka, menanyakan pesanan. Setelah menyebutkan pesanannya, pelayan itu mencatatnya di buku kecil, kemudian melenggang pergi. 


"Kamu liburan di sini sampai berapa hari?" Aylin yang tidak tahan jika harus berhadapan dengan kesunyian, mendorongnya untuk membuka pembicaraan di antara keduanya. Walaupun ada perasaan asing yang menyelimuti hati.


"Sepuluh hari, kamu?" sahut Tirta. Jika sedang berbincang, Tirta selalu memusatkan perhatian kepada lawan bicara. Dalam penilaian Aylin, Tirta adalah tipe orang yang sangat menghargai orang lain. 


"Tujuh hari."


"Berarti dalam waktu yang tersisa itu, kita harus mengunjungi banyak tempat, Lin. Kalo kamu mau, saya bisa temenin kamu." 


"Kamu baik banget, Tirta. Aku sebenarnya nggak mau ngerepotin kamu. Tapi, rugi juga rasanya kalo nolak ajakan kamu."


"Saya nggak pernah merasa direpotin. Saya malah seneng ada teman jalan. Karena tiga tahun lalu, saya liburan ke sini sendiri. Jalan-jalan sendiri. Semuanya serba sendiri. Tapi sekarang, saya tetep liburan sendiri, cuma bedanya saya ketemu kamu. Saya jadi punya temen dan nggak sendirian lagi."


Bisa Aylin rasakan, jika ucapan Tirta itu tulus adanya. Tidak ada sinyal yang menunjukkan jika Tirta ingin meminta sesuatu sebagai imbalannya. 


Musik berganti, membuat percakapan keduanya terhenti sesaat dan memandangi sekitar.


"Sebenarnya aku masih betah di sini, Ta. Tapi, mau gimana lagi, masih ada yang harus dikerjain di Jakarta. Semoga bisa ke sini lagi, deh," ujar Aylin.


"Kalo kamu liburan ke Swiss lagi, berkunjung ke Kota Bern, ya? Saya siap dua belas jam nganter kamu keliling Bern. Tapi maaf, dua belas jam sisanya saya nggak siap, karena butuh istirahat," kata Tirta diselingi dengan kata-kata jenaka.


Aylin tertawa, kemudian mengangguk. "Oke."


"Setelah lulus kuliah, kamu rencananya mau tinggal di Indonesia atau tetep di Swiss?" tanya Aylin.


"Bandung, Lin."


"Oh, berarti Indonesia, ya?"


"Di Swiss itu mah. Dingin soalnya." 


Keduanya tertawa kembali. Beruntung, percakapan itu mengalir tanpa ada rasa canggung yang sebelumnya Aylin rasakan. Seolah rasa itu ikut terbawa hanyut dalam obrolan mereka.


"Kamu ada waktu nggak buat besok pagi?" tanya Tirta.


"Aku selalu punya waktu, Ta."


"Saya mau ajak kamu keliling Lauterbrunnen pake sepeda. Sepedanya nyewa, deket sini ada tempat sewanya." 


"Ih, mau!" 


"Oke. Jangan sampai kesiangan, ya."


oOo


pict cr: pinterest

Tidak ada komentar:

Posting Komentar