Jumat, 25 November 2022

Lauterbrunnen in Memories - 7

Tirta menatap Aylin yang tengah mengendarai sepeda di depannya. Rambut hitam kecoklatan yang dikuncir itu sesekali bergoyang terkena angin. Sinar matahari membuat rambut Aylin terlihat semakin coklat.

Berada di dekat perempuan itu Tirta merasakan sesuatu yang berbeda. Rasa bahagia tercipta bukan hanya karena Aylin mirip seperti gadis yang ada dalam bayangannya. Melainkan, perhatian kecil yang seringkali membuat dadanya berdesir. 

Tirta sekarang baru menyadari, teori jatuh cinta dalam hitungan detik itu benar adanya. Hanya dengan tatapan yang berlangsung selama kurang lebih lima detik, berhasil membuat Tirta merasa hanyut dalam paras cantik perempuan itu. Sepasang mata seperti kacang almond, dengan bulu mata panjang yang menaunginya. Hidung bangir disempurnakan dengan bibir yang kecil. 

Tapi, fisik bukan menjadi poin utama yang menentukan perasaannya. Tirta merasa nyaman dekat Aylin, terlebih mereka memiliki beberapa kesamaan, seperti suka berpetualang dan mengagumi alam. 

Namun, dia tak ingin jatuh terlalu dalam. Sebatas teman saja cukup. Membiarkan Aylin berkeliaran liar dalam benaknya, bersenang-senang dalam imajinasinya seperti yang telah lalu. Tak masalah jika perempuan itu ingin singgah lebih lama dalam pikirannya.

Aylin bukan hanya bayangannya yang menjadi nyata, tapi sebagai pembenar bahwa sesuatu yang aneh yang terjadi dalam hidupnya adalah bagian dari takdir.

Tiba-tiba, Aylin yang mengendarai sepeda di depannya berhenti. Membuat Tirta juga ikut berhenti di belakangnya. 

"Kenapa, Lin?"

"Aku mau minta tolong fotoin di sini, boleh?" Setelah Tirta mengangguk, barulah Aylin mengeluarkan kamera polaroid merah mudanya dari dalam tas dan memberikannya ke Tirta.

Mereka berhenti di pinggir jalan. Di sisi kiri dan mereka pemandangan masihlah sama, padang rumput hijau. Namun, tebing panjang menambah keindahan panorama di sebelah kiri mereka.

Aylin tetap menaiki sepedanya dengan tangan kanan membentuk peace dan tangan kirinya memegang stang sepeda.

"1 ... 2 ... 3." 

Cahaya flash memudar. Keluarlah foto polaroid mungil yang diharapkan Aylin akan bagus sesuai ekspektasinya.

"Ta, kita foto bareng, yuk?" ajak Aylin setelah foto itu puas dilihatnya.

Mengetahui kebingungan Tirta, Aylin segera menjelaskan, "Kamu pegang handphone kamu pakai tangan kiri, aku pegang kameranya pakai tangan kanan. Nah, gunanya handphone itu cuma buat lihat apakah posisi kameranya udah bener atau belum. Kan, kamera polaroid nggak ada kamera depan. Jadi kita harus foto pake kamera belakang dengan bantuan handphone."

Tirta mengangguk paham. Kemudian merogoh saku bajunya untuk mengambil ponsel. Mengikuti instruktur Aylin demi mendapatkan foto bersama menggunakan kamera polaroid.

"Cis ..." Aylin menunjukkan giginya, sementara Tirta tersenyum sampai lesung pipinya terlihat dalam. Foto polaroid keluar, keduanya tersenyum puas melihat hasilnya.

"Sekali lagi, Ta. Biar kebagian satu-satu fotonya," kata Aylin. Mereka kembali berfoto menggunakan gaya yang sama. Hanya ada senyum keduanya. Tidak ada tambahan gaya menggunakan tangan.

Jari mereka bersentuhan karena tubuh yang berdiri bersisian tanpa jarak. Sadar dengan itu, Tirta menggeser tubuhnya ke samping hingga tangan mereka tidak berhimpitan lagi. 

Polaroid keduanya keluar, kemudian Aylin memberikannya untuk Tirta, sementara foto pertamanya akan dipasang di buku catatan bersampul coklat milik perempuan itu.

Aylin memandangi foto itu, kemudian bergumam singkat, "Bagus." 

"Luar biasa," sahut Tirta, diakhiri kekehan renyah.

"Lanjut lagi, yuk?" ajak Aylin yang sudah berada di atas sepedanya, siap mengayuh. Tirta melakukan hal yang sama. Keduanya kembali menempuh perjalanan mengelilingi Desa Lauterbrunnen.

oOo

Acara mengelilingi Lauterbrunnen menggunakan sepeda sudah selesai. Keempatnya bertemu kembali di sebuah kafe yang tak jauh dari tempat penyewaan sepeda.

"Waktu kecil Aylin ini pernah nangis tau lihat kucing kawin," cerita Meylin ketika semuanya tengah melebur dalam obrolan sambil menunggu pesanan mereka datang. Kali ini topiknya membahas masa lalu Aylin yang memalukan. 

Semua tertawa kecuali Aylin. Lagi-lagi dia ternistakan di sini. Untung, Aylin tidak pernah terbawa perasaan dengan godaan kakaknya yang jahil itu. Dia juga sebenarnya ingin tertawa mengingat kejadian memalukan itu, namun gengsinya menguasai hati. Jadilah, Aylin menggigit pipinya guna menahan tawa.

"Katanya, kucingnya kasian ditindihin," Meylin bercerita dengan tawa yang terkadang memutus kalimatnya. Tirta yang berada di seberang Aylin juga ikut tertawa, dengan tangan mengepal di depan mulut. Sesekali geleng-geleng kepala, seperti heran dengan tingkah laku perempuan yang ada di hadapannya.

"Stop, Kak," pinta Aylin dengan wajah yang dibuat memelas. 

"Terus dia nangis kejer sampe omah kebingungan nenanginnya," Meylin melanjutkan tanpa memedulikan adiknya yang sudah akting dengan membuat wajah memelas itu.

"Oh, ternyata Aylin begitu, ya, kecilnya," celetuk Tirta. "Lucu."

"Kak Meylin juga pernah nangis gara-gara nggak bisa manjat pohon pisang," sahut Aylin, membalas dendam kepada kakaknya dengan menceritakan kejadian yang memalukan yang dilakukan Meylin sewaktu kecil.

"Serius, Yang?" Athar tertawa ngakak mendengar istrinya bertingkah seperti itu waktu kecil. "Pohon pisang aja kamu mau panjat? Kenapa nggak pohon toge aja sekalian?"

Meylin malah ikut tertawa mendengarnya. Sangat kencang, sampai-sampai mencuri perhatian sekitar. Aylin menempelkan bibir di depan telunjuk, mengisyaratkan kakaknya untuk diam dan tidak membuat malu.

"Kakak, mah, kebiasaaan. Kalo ketawa nggak inget tempat." 

Athar memajukan tubuh agar bisa menutup  mulut istrinya. Tirta tersenyum canggung kepada pengunjung kafe yang lain.

"Aduh, maaf, deh. Kalo diinget, aku konyol banget waktu itu. Jangakan orang, kipas aja geleng-geleng saking herannya," kata Meylin setelah Athar melepaskan tangannya.

"Eh, ngomong-ngomong, kalian kalo diliat makin lama makin deket, ya." Athar menatap Tirta di sebelahnya, kemudian beralih pada Aylin yang ada di seberang meja.

Aylin dan Tirta saling menatap. Alis perempuan itu terangkat, dan mengalihkan pandangannya ke Athar.

"Deket sebagai temen, kan? Kalo gitu, iya."

Tirta mengangguk setuju. "Iya, nggak lebih."

Entah hanya perasaannya saja, atau Meylin mampu merasakan dari tatapan keduanya yang seperti menyiratkan sesuatu. 

Athar menyiku Tirta yang ada di sebelahnya. Sementara alisnya diturun naikkan menghadap Aylin, berniat menggodanya. "Aylin jomblo, loh, Ta." 

"Tahun depan Aylin nikah, liat aja nanti!" ketus Aylin. Matanya melotot pada kakak ipar di hadapannya itu. Tanpa sadar, ada sepasang mata yang kini tengah menatapnya sambil tersenyum.

"Nikah sama Tirta, ya?" ledek Meylin. 

Meylin belum pernah melihat Aylin cair dengan laki-laki yang terbilang baru dalam kehidupan perempuan itu. Seumur hidup, hampir tidak pernah dia melihat Aylin dekat dengan seorang laki-laki, kecuali Bagas--sahabat Aylin di kampus dulu. Kehidupan Aylin sedikit tertutup dan tidak mau berbaur dalam dunia percintaan. Katanya, Aylin ingin fokus pada bisnis lulur organik yang dirintis bersamanya. 

Dan melihat kedekatan Aylin dengan Tirta, dalam hati Meylin berharap, Aylin mau membuka hati untuk seorang laki-laki.

oOo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar