Jumat, 25 November 2022

Lauterbrunnen in Memories - 8

"Kamu pasti risih ya diledekin sama kakak aku?" tanya Aylin ketika mereka berdua tengah berjalan di jalan setapak berbatu kerikil kecil pada tanah yang miring dan menanjak. Mengingat kejadian di kafe tadi, membuat dirinya malu. 

Tirta menggeleng mantap. "Nggak sama sekali, Lin. Itu, kan, cuma candaan, kenapa harus risih? Selagi nggak menyangkut kehidupan pribadi saya, saya nggak pernah terbawa perasaan."

"Maafin, ya. Kakakku tuh emang jahil."

Aylin hanya takut Tirta risih dan suasana menjadi canggung ke depannya. Beruntung, Tirta seperti dirinya yang kebal dengan sikap jahil kedua kakaknya.

Aylin menendang kerikil kecil tak bersalah, menganggap batu yang ditendangnya adalah dua orang yang tengah bergandeng tangan di depan sana. Meylin dan Athar tengah asyik berfoto ria menggunakan kamera polaroid milik Aylin.

"Tapi, menurut saya, kakakmu itu friendly, lho. Mudah bergaul sama orang lain. Saya jadi keinget kakak saya di Bandung. Dia perempuan, jahil juga. Sifatnya persis banget kayak kakak kamu."

"Kamu kangen keluarga kamu, ya, Ta?"

Tirta mengembuskan napas panjang, mengempit bibir, sebelumnya akhirnya menjawab, "Iya, kangen."

Aylin tidak berani meneruskan topik pembicaraan soal keluarga lebih jauh. Mengingat wajah Tirta yang nampak kurang nyaman, seperti ada beban yang ditanggungnya selama ini. Juga nada suaranya yang terdengar bergetar, walaupun samar-samar.

Tirta  menangkap raut wajah Aylin yang merasa tidak enak karena jawabannya, berusaha mencairkan suasana kembali. 

"Kalo mau tanya, tanya aja. Nggak usah minta izin." Aylin terkekeh geli, mengingat Tirta sering meminta izin ketika ingin bertanya sesuatu.

"Kamu kenapa suka foto pakai kamera polaroid? Padahal kamu punya ponsel yang bisa buat foto juga."

"Karena kamera polaroid itu jujur, sesuai keadaan. Kita nggak bisa ngedit, ngasih efek, atau yang lainnya. Karena setelah difoto, hasil fotonya bakal langsung keluar."

Tirta manggut-manggut, paham. Dalam hati, dia menilai Aylin adalah perempuan yang suka berterus terang, apa adanya.

"Eh, Tirta, Aylin. Cepetan jalannya. Aku mau fotoin kalian berdua. Di sini view-nya bagus," seru Meylin yang berada di depan mereka sembari mengibaskan tangan.

Aylin menoleh ke arah Tirta, seperti meminta persetujuan. Setelah mendapat respon setuju, barulah keduanya berjalan dengan langkah panjang menuju Meylin dan Tirta.

"Kalian coba berdiri di sini," titah Meylin, menarik tubuh keduanya agar sesuai keinginannya. Baik Aylin maupun Tirta hanya bisa pasrah.

"Senyum, ya." 

Athar kemudian memotret dua insan yang tengah tersenyum ke arah kamera.

"Coba Aylin geser dikit." Meylin yang di samping Athar mengomando dengan menggerakan tangannya ke kiri. 

Tak sengaja, kaki Aylin jadi terinjak karena tak memerhatikan ke bawah. Aylin meminta maaf karenanya, kemudian sama-sama tergelak. Tanpa disadari, Athar diam-diam mengambil gambar keduanya yang tengah tertawa. Cahaya flash sontak membuat Aylin dan Tirta membisu, menghentikan tawa mereka.

"Kakak foto kita diem-diem, ya?" Aylin mengangkat kedua alisnya. Namun tak ada jawaban dari Athar. Karena foto polaroid yang mulai keluar dari kamera sudah cukup untuk menjadi jawaban atas pertanyaannya.

"Coba liat," pinta Aylin. Athar memberikan foto itu setelah Meylin melihatnya.

"Ih, tapi bagus lho," celetuk Aylin. Yang disahut Tirta, tanda setuju. 

Aylin dan Tirta menyimpan masing-masing satu foto polaroid. Aylin memilih untuk menyimpan hasil foto colongan Athar, sementara Tirta hasil foto yang pertama. 

Kini Aylin dan Tirta memilih mengistirahatkan diri di rerumputan pada tanah yang miring. Sementara Meylin dan Athar sibuk berfoto di dekat Air Terjun Staubbach. 

Lauterbrunnen tampak indah dari ketinggian, tempat keduanya duduk. Rumah berbentuk seperti pondok-pondok kecil yang terbuat dari kayu tersusun tak beraturan, padang rumput mendominasi pemandangan. Panorama Pegunungan Alpen menghadirkan rasa damai di hati masing-masing. Mereka tak henti-hentinya memuji ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa. Dalam hati Aylin merasa bahwa orang Swiss sangat beruntung bisa dilahirkan di tempat ini. Surga dunia. Hadiah terindah dari Tuhan. Orang Swiss mengerti mereka dititipkan sesuatu yang sangat berharga, oleh sebab itu mereka menjaga hadiah tersebut dengan sebaik-baiknya. Terbukti dari lingkungan yang bersih, terawat, dan alamnya yang selalu asri dilihat.

"Kalau masa tua dihabiskan di Lauterbrunnen, mungkin bakal indah banget kali, ya, Ta?" 

Tirta melayangkan pandang ke arah Aylin yang wajahnya tersiram cahaya matahari. "Indah, Lin. Tapi, di mana pun tempatnya, yang terpenting adalah kebahagiaan. Karena tanpa kebahagiaan, sesuatu yang kita impikan nggak akan terasa indah." 

"Iya, kamu bener. Ibu aku pernah bilang, ada dua hal penting dalam kehidupan ini, yaitu kesehatan dan kebahagiaan. Karena tanpa keduanya, hidup itu nggak berarti apa-apa."

Senyum getir menggantung di bibir Tirta. Pandangannya naik, melihat langit biru dengan awan putih yang nampak seperti kapas raksasa. "Ibu saya pasti udah bahagia di sana." 

Mulut Aylin terbuka mendengar pernyataan itu. "Maaf, Ta. Aku nggak bermaksud--"

"Nggak apa-apa, Lin. Saya cuma keinget ibu saya. Kamu nggak usah merasa bersalah begitu, saya jadi nggak enak," potong Tirta.

Sepotong memori dalam ingatan Aylin tiba-tiba berputar. Sebuah percakapan bersama Tirta pada hari pertama kedatangannya di Lauterbrunnen. Di mana dia dan Tirta tengah menyusuri Lauterbrunnen pada malam hari.

"Aylin, kamu lebih suka bulan atau bintang?" tanya Tirta yang merobek kesunyian di antara mereka. 

"Bintang."

"Kira-kira bintang kalau ditawar berapa, ya, harganya?"

Aylin mengernyitkan dahi, lantas tertawa. "Maksud kamu apa?"

"Saya cuma pengen beli bintang buat nerangin Lauterbrunnen. Tau lagu Ambilkan Bulan Bu?"

"Tau, dong. Bisa dibilang itu lagu favoritku waktu kecil. Kenapa?"

"Saya dulu sering nyanyiin lagu itu ke Ibu saya. Tapi, sampai sekarang Ibu saya nggak pernah ngasih bulan itu ke saya."

Aylin merasa bersalah karena menganggap Tirta tengah melucu waktu itu. Mengingat ucapan Tirta sewaktu kecil yang mustahil untuk bisa terwujud. Siapa juga yang bisa mengambil bulan?

Ternyata, perkataan itu mengandung arti yang sebenarnya dalam arti berbeda. Sesuai ucapan Tirta, bahwa ibunya tak pernah memberikan bulan itu kepadanya. Tak akan pernah. Karena ibunya telah tiada, beristirahat dengan tenang di pangkuan Tuhan.

Dan, pantas saja Tirta seperti merasa sedih sewaktu Aylin bertanya apakah laki-laki itu rindu keluarganya. Sekarang, Aylin mendapatkan jawabannya. 

Tangan Aylin bergerak di atas rumput, mencari tangan Tirta untuk diusap. Berusaha menyalurkan energi positif yang dia punya.

"Kamu jangan sedih, ya. Pasti ibu kamu udah bahagia di surga-Nya." 

Tirta mengangguk sembari tersenyum, berusaha terlihat tegar. Tapi, Aylin tahu, jauh di dalam lubuk hati, laki-laki itu merasa kehilangan. Aylin tak bisa membayangkan jika itu terjadi pada dirinya. Suatu saat memang akan terjadi, iti pasti. Namun Aylin belum siap untuk kehilangan kedua orangtuanya. Tidak akan pernah siap. Aylin pernah meminta pada Tuhan dalam doa, agar nyawanya lebih baik dicabut terlebih dulu daripada harus menyaksikan kepergian dua orang yang sangat berarti dalam hidupnya. 

"Terima kasih ya, Lin." Tirta bisa merasakan ketulusan yang terpancar dari sorot mata perempuan itu.

oOo

Sinar matahari menerangi perjalanan pulang ke hotel masing-masing. Dalam perjalanan tersebut, mengalir percakapan di antara keempatnya.

"Besok kita mau main ski di Jungfrau. Kamu mau ikut nggak, Ta?" tanya Aylin. Jungfrau merupakan salah satu puncak dari pegunungan Alpen Bernese yang berada di antara kanton Valais dan Bern yang ada di wilayah Swiss. 

"Nah iya, ikut aja, Ta. Biar Aylin ada temennya. Kasian dia kalo jadi nyamuk terus," sahut Athar yang mendapat pelototan tajam dari Aylin.

"Boleh." Jawaban itu membuat Tirta mendapat hadiah rangkulan dari Athar.

"Kita mau ngabisin waktu di sana seharian, soalnya lusa sore kita udah harus balik ke Jakarta," Meylin ikut menanggapi.

Mengingat hal itu, jantung Tirta tiba-tiba berdetak kencang. Ada perasaan aneh yang menyelimuti hatinya saat ini. Perkataan yang keluar dari mulut Meylin itu juga menjadi penyebab hilangnya senyum Aylin dari bibir. 

Setelahnya tak ada lagi percakapan, karena keempatnya larut dalam pikiran masing-masing.

oOo


Tidak ada komentar:

Posting Komentar