Jumat, 25 November 2022

Lauterbrunnen in Memories - 3


Esok harinya, Aylin dan Tirta bertemu kembali di depan hotel yang menjadi tempat Aylin menginap bersama kakak perempuan dan kakak iparnya. Hotel itu terletak di Beim alten Schulhaus yang membelakangi pemandangan indah yang dilihat Aylin kemarin malam.


Hari ini, Tirta memakai sweater tebal dengan kedua lengan disisingkan. Terlihat arloji berwarna perak yang melingkar di pergelangan tangan kanannya, yang terkadang memantulkan cahaya. Dia menggendong tas ransel hitam yang berisi kanvas seukuran kertas A4, beserta perlengkapan melukis lainnya.


Sementara Aylin hari ini memakai pakaian terbaiknya. Dia mengenakkan long coat berwarna beige, dengan perpaduan baret wol coklat susu yang menutupi kepalanya. Rambut panjangnya yang dibiarkan tergerai sepunggung, sesekali terbang terkena angin.


"Kamu udah selesai lukis foto kakek nenek itu?" tanya Aylin kepada Tirta. Mereka tengah dalam perjalanan menuju Taman Valleywaterfall yang akan menjadi tempat Tirta melukis wajah gadis itu. Sesuai namanya, taman itu berada dekat dengan Air Terjun Staubbach. Sekaligus melukis pemandangan alam kesukaaan Aylin sebagai background-nya. 


"Belum, tapi udah hampir jadi. Sekitar delapan puluh persen. Kalo udah, nanti saya kasih tau."


Tak terasa perjalanan yang memakan waktu kurang lebih sepuluh menit itu berakhir. 


"Sebelum ngelukis, saya mau kasih tau sesuatu sama kamu," kata Tirta setelah mereka sudah berada di area taman. Aylin jadi penasaran dibuatnya. Dia mengikuti langkah Tirta yang membawanya ke suatu tempat. 


Terlihat dua batu besar, bersama dengan pegas beton di lantai, membentuk tugu. Aylin tidak tau tugu apa itu. Jari Tirta menunjuk ke salah satu batu yang terdapat tulisan dalam Bahasa Jerman dan Bahasa Inggris di sana. Aylin berusaha membacanya dalam hati, walaupun dia hanya mengerti arti dari tulisan yang berbahasa Inggris. 


Gedenkstätte für Unglücksopfer im Lauterbrunnental

Lieu comméoratif pour les viotimes d'un accident dan la vallée de Lauterbrunnen

Memorial for casualities in the Lauterbrunnen Valley


"Ini tugu peringatan untuk para korban yang kecelakaan di lembah Lauterbrunnen," jelas Tirta yang menjawab rasa penasaran Aylin. 


Tugu itu seperti mengundangnya untuk berlama-lama di sini, larut dalam pikiran. Aylin menoleh untuk melihat Air Terjun Staubbach sekali lagi, sebelum akhirnya fokusnya kembali pada dua batu besar di hadapannya. Ternyata setiap tempat memiliki memori tersendiri, baik itu sedih ataupun bahagia. Bahkan di tempat seindah ini, ada kisah memilukan yang menyelimutinya. Dalam hati, Aylin berdoa untuk ketenangan pada korban diakhiri dengan mengusap salah satu batu tersebut.


"Ada jenazah yang dikubur di sini?" tanya Aylin.


"Nggak. Ini cuma tugu."


"Kamu tau banyak soal Lauterbrunnen, ya?"


"Nggak terlalu. Cuma saya pernah ke sini tiga tahun lalu, dan sekarang berkunjung ke sini lagi. Jadi, ya, lumayan tau banyak tempat di Lauterbrunnen."


Tak heran jika Tirta tahu banyak tempat menarik di desa ini. Aylin jadi merasa punya teman sekaligus guide yang tak dibayar. Dan lagi, dia sangat beruntung bisa bertemu dengan Tirta.


"Ayo, kita mulai ngelukis. Kamu siap, kan?" tanya Tirta memastikan. Ditanya seperti itu, Aylin malah merasa gugup. Namun, respon yang diberikan tetaplah anggukan kepala. Semata-mata untuk menghargai Tirta yang terlihat bersemangat untuk melukis dirinya. Dia tidak mau membuat Tirta kecewa dengan mengatakan 'belum siap'. 


Ayolah, Ay. Kamu cuma mau dilukis, bukan mau ditembak, batin Aylin. 


Tirta menepuk-nepuk bangku taman panjang berwarna coklat tua, mengisyaratkan Aylin untuk duduk di situ. Tepat di belakangnya, air terjun tertinggi di Eropa itu menjulang. Harus dia akui, Tirta benar-benar pandai dalam memilih spot.


Laki-laki itu duduk di bangku yang berada di seberangnya. Mengeluarkan semua peralatan melukis yang dia bawa dari dalam tas.


"Tirta, boleh fotoin aku sebentar?" 


"Boleh."


Mendengar itu, Aylin membuka tas ranselnya dan mengambil kamera polaroid untuk diberikan kepada Tirta. Laki-laki itu menerimanya diiringi dengan senyuman yang membuat Aylin semakin gugup. 


"Senyum, ya."


Aylin menyunggingkan senyum kakunya. Detik-detik dirinya ingin dilukis, rasa gugupnya semakin menguasai hati, minta dilayani. Saat foto itu keluar, Tirta maju beberapa langkah untuk memberikan foto itu pada Aylin. Gadis itu menyambut uluran tangan Tirta, kemudian mengibaskan fotonya agar cepat terlihat jelas. Setelah jelas, Aylin tersenyum kecut. Pemandangannya bagus, tapi dirinya terlihat sangat kaku.


"Sekali lagi," tukas Tirta. Kakinya mundur beberapa langkah sampai ke titik semula, sembari membidik kamera layaknya seorang fotografer handal.


Aylin bergaya dengan memegang ujung baret wolnya. Berharap hasilnya akan bagus dan sesuai ekspektasi. Karena sejujurnya, Aylin tidak terbiasa difoto dengan kamera belakang. Dia lebih suka swafoto dan ingin bisa swafoto dengan kamera miliknya itu. Sayangnya kamera polaroid tidak bisa mewujudkan keinginannya.


Foto itu keluar, dan hasilnya bagus. Bisa dikatakan foto ini adalah foto terbaik menurutnya.


"Makasih, Tirta. Sumpah, ini bagus banget," tukas gadis itu, masih terus memandangi fotonya. Kemudian memasukkan kamera beserta kedua foto itu ke dalam tas. Kamera dan foto yang tadi berada di tangannya, kini tergantikan oleh sebuah ponsel. 


"Sekarang, udah bisa kita mulai, ya?"


"Iya, tapi tunggu sebentar. Aku mau putar lagu boleh, ya?"


"Iya, Lin."


Aylin memutar lagu yang ada di ponselnya. Lagu pertama yang dipilihnya untuk diputar berjudul Ragu, yang dinyanyikan oleh Rizky Febian. Setelahnya, dia menaruh ponselnya di samping tubuh dan duduk tenang dengan badan yang tegap. Tangannya berada di atas paha, berusaha untuk tidak bergerak sama sekali. Dia sedikit tersenyum, entah kentara atau tidak jika dilihat orang. Berharap, agar ini tidak berlangsung lama. 


Tirta mulai menggambar sketsa menggunakan pensil, sebelumnya akhirnya menuangkan warna di atas kanvas menggunakan kuas yang beragam.


Kegugupan Aylin rupanya tidak memudar seiring berjalannya waktu. Justru rasa gugup itu semakin bertambah, apalagi Tirta menatapnya lama. Mata mereka beradu, dan laki-laki itu melemparkan senyum sesaat. Lalu kembali fokus pada kegiatan melukisnya, diiringi lagu Berdua Bersama dari Jaz yang kini tengah berputar.


Aylin merasa ada yang tidak beres dengan jantungnya ketika Tirta menatapnya lebih dari lima detik. Walaupun dia tahu, itu hanya untuk keperluan melukis, tapi tetap saja, organ tubuhnya tidak bisa dibohongi. 


"Pegel, ya?" tanya Tirta setelah melihat kegelisahan gadis itu.


"Nggak, kok."


Setidaknya sudah sepuluh lagu yang terputar membunuh kesunyian di antara mereka. Tidak ada percakapan yang terlontar dari keduanya. Tirta yang sibuk menyelesaikan lukisannya, juga Aylin yang tidak mau mengganggu laki-laki itu.


"Udah hampir selesai, sabar, ya." Suara Tirta terdengar dalam dan ... lembut.


"Iya, aku sabar kok." 


Tirta menatap Aylin sekali lagi, kemudian tersenyum lagi. Kali ini terlihat lebih merekah daripada sebelumnya.


Seharusnya Tirta adalah pemandangan yang membosankan, karena dilihat lama. Terhitung sudah hampir satu jam waktu berjalan. Tapi, entah mengapa, Aylin justru semakin ingin menatapnya. Memperhatikan tiap gerakan laki-laki itu.


Alis yang kadang bertaut jika tengah menorehkan warna pada kedetailan tertentu, tangan yang bergerak ke sana dan ke mari, kuas yang menari di atas kanvas, arloji yang memantulkan cahaya matahari, dan lesung pipi yang terlihat tatkala Tirta tersenyum. Semuanya terekam dalam ingatan Aylin.


"Kalau kamu capek bilang aja. Biar kamu istirahat, atau mau foto-foto sekitar. Soal lukisan, saya bisa lanjut nanti di hotel," kata Tirta.


"Tapi, kan, nggak ada aku? Apa aku harus ke hotel kamu, gitu?"


"Nggak perlu, Lin. Saya udah inget detail wajah kamu dan pemandangannya."


oOo 


pict cr: pinterest


Tidak ada komentar:

Posting Komentar