Jumat, 25 November 2022

Lauterbrunnen in Memories - 6

Malam tadi, Aylin tidak bisa tidur karena tak sabar menunggu esok pagi. Matanya menolak untuk terpejam, dengan pikiran yang melayang entah ke mana. Alhasil, dia menghabiskan malamnya dengan menulis puisi sembari memandang desa Lauterbrunnen lewat jendela dari dalam kamar hotelnya. Sementara kakaknya tertidur pulas dengan posisi menguasai tempat tidur. Aylin sampai bingung ingin tidur di sebelah mana. Alhasil, pada jam satu pagi kantuknya datang dan Aylin memilih tidur di sofa yang membuat badannya agak pegal-pegal hari ini. 

Sepertinya kantuk memang tak berlaku bagi Aylin. Pegal-pegal yang dia rasakan larut dalam semangat menyambut pagi. Karena buktinya, pagi-pagi sekali dia sudah bersemangat untuk mengelilingi tempat ini dengan sepeda bersama Tirta dan kedua kakaknya--Aylin yang mengajak keduanya untuk bersepeda bersama.

Hari ini, Aylin mengenakan sweater berwarna mustard. Rambut panjangnya diikat ke belakang, ditambah hiasan senada dengan sweater yang menutupi ikat rambutnya. 

Aylin mematut diri di depan cermin besar yang terpampang di hadapannya. Melihat apa yang kurang dari penampilannya. Dia melihat keganjilan di bagian rambutnya, lantas merapikan penampilan yang dianggap kurang sempurna itu.

"Ay, cepetan, kakak udah siap, nih," kata Meylin sembari membuka pintu. 

Mendengar itu, Aylin langsung mengambil tas ransel berisi makanan ringan, tisu dan air mineral, lantas menghampiri kedua kakaknya yang sudah siap itu. Ketiga turun untuk menemui Tirta yang sudah menunggu di luar.

"Pagi, Ta," sapa Aylin. Rambutnya bergoyang kala dia berlari kecil untuk menghampiri Tirta.

"Pagi, Lin, Kak." Mata Tirta teralihkan pada dua sosok yang tengah kasmaran di depannya.

"Yang, kita nggak usah ganggu mereka berdua, ya. Kita sepedahannya jangan sama mereka," bisik Meylin kepada Athar. Suaranya sengaja dikencangkan agar Tirta dan Aylin yang tengah mengobrol itu mendengar.

"Oke, Sayang. Kita nggak boleh ganggu orang PDKT. Kasian, nanti Aylin jomblo terus." 

"Aku denger, ya!" seru Aylin sambil melengkungkan bibir ke bawah, tanda dia sebal.

Meylin dan Athar kompak tertawa, Tirta juga ikut terkekeh. Hanya Aylin saja yang diam dan sedikit heran. Menyikapi Tirta yang justru terkekeh karena ucapan kedua kakaknya.

"Udah, ah. Jangan godain aku terus," kata Aylin, memilih berjalan dahulu. Ketiganya menyusul Aylin, namun Tirta-lah yang paling cepat mengejarnya.

"Kamu lucu kalo lagi marah," celetuk Tirta pelan. Membuat Aylin menggigit pipinya sendiri untuk menahan senyum. Sebenarnya dia tidak marah atau tersinggung sama sekali. Hanya saja, Aylin merasa malu digoda di depan Tirta.

Berjarak sekitar dua meter di belakang mereka, Meylin dan Athar tertawa kecil. Merasa bahagia dengan kedekatan dua orang di depannya. 

oOo

Keluar dari tempat penyewaan sepeda, keempatnya menuntun sepeda masing-masing, dan membawanya keluar bangunan coklat berlantai dua. 

"Kamu udah siap, kan?" tanya Tirta. Setelah mendapat anggukan, laki-laki itu kemudian naik ke atas sepeda tersebut. Aylin juga melakukan hal yang sama.

"Kakak sama Mas Athar mau sepedahan ke sana, ya," ujar Meylin sembari menunjuk jalan yang berada di belakang mereka. Sesuai kesepakatan, keempatnya akan berpisah. Athar dengan Meylin, sedangkan Tirta bersama Aylin. 

"Iya sana. Hush-hush." Aylin mengibaskan tangan, seperti gerakan mengusir kedua kakaknya. Kemudian diakhiri dengan tawa renyah.

"Udah nggak sabar mau pacaran, ya," sahut Athar, membuat Aylin mematung seketika. 

"Aku nggak pacaran sama Tirta, ya. Udah, ah. Aku sebel digodain terus sama kalian." Aylin menyilangkan tangannya di depan dada. 

"Iya emang belum, tapi bentar lagi kayaknya," jawab Athar lagi. Membuat yang digoda mendengus kesal.

Tirta hanya tersenyum menanggapi candaan Athar. Membuat Aylin gemas sekaligus heran. 

Kenapa Tirta nggak protes, sih, batin Aylin.

"Aku jalan duluan, biar nggak digodain sama kalian. Bye." 

Sepeda mulai dikayuh Aylin dengan pelan, meninggalkan Tirta yang masih diam di atas sepeda. Sementara Meylin dan Athar belum naik ke atas sepeda sama sekali. 

"Kak, saya duluan," pamit Tirta kemudian menyusul Aylin yang sudah mulai terlihat jauh. Tirta mempercepat kayuhannya, mengikis jarak keduanya.

"Kamu marah?" tanya Tirta ketika keduanya bersisian.

"Nggak, Ta. Aku nggak pernah baper sama candaan kedua kakakku itu. Mereka emang pasutri jahil," jawab Aylin yang kemudian mengundang Tirta untuk tersenyum lega. 

Keduanya mengendarai sepeda menelusuri Auf der Fuhren. Aylin yang berada di samping Tirta merasa pasrah dituntun ke mana saja. Dia merasa aman bersama laki-laki itu. Padahal Tirta termasuk orang baru dalam kehidupannya. Namun, Aylin percaya Tirta. Aylin percaya jika Tirta sama sekali tidak berniat buruk atau ingin memanfaatkannya saja.

Nampak di sisi kiri berdiri bangunan yang berupa kios, restoran, hotel dan lain-lain. Di belakang bangunan tersebut, menjulang dengan kokoh tebing yang tinggi. Sementara di sisi kanannya juga dipenuhi bangunan yang membelakangi hamparan rumput luas di tanah yang miring. Jauh di depan sana, terlihat pegunungan berwarna hijau tua karena dipenuhi pepohonan dan rumput.

Jauh di belakang sana, terlihat Air Terjun Staubbach yang berada di tebing, ditambah pegunungan yang di atasnya terselimuti oleh salju berjejer rapi, layaknya benteng yang mengelilingi Lauterbrunnen. Panorama pegunungan alpen membentuk siluet indah yang terlihat samar-samar di hari yang cerah ini, meskipun matahari masih malu-malu untuk menampakkan cahayanya.

Matahari perlahan bergerak naik. Tirta menuntun Aylin untuk berputar ke arah yang awalnya menjadi jalan yang dipilih Meylin dan Athar.

Mereka menelusuri jalan yang menyuguhkan pemandangan hamparan luas rumput serta beberapa rumah berbentuk Chalet--ciri khas rumah di Pegunungan Alpen--yang jaraknya jauh dengan rumah lainnya. Tidak seperti jalan awal yang mereka lalui, di mana bangunan berderet sepanjang jalan. Kambing-kambing berbulu putih berlarian diikuti suara dentingan lonceng yang terlilit pada leher kambing-kambing tersebut.

"Ta, istirahat dulu, yuk," kata Aylin agak kencang. Matanya menyipit ketika menoleh karena cahaya matahari langsung menerpa wajahnya. 

"Iya."

Aylin mengehentikan sepedanya di pinggir jalanan yang lengang itu. Diikuti oleh Tirta yang berhenti di depannya.

Aylin duduk beralaskan rumput basah, meluruskan kakinya dengan kedua tangan bertumpu pada tanah. Tirta ikut duduk di samping perempuan itu sambil memeluk lutut.

"Tirta," panggil Aylin dengan napas tersengal-sengal. Diamnya Tirta memberikan kesempatan untuk Aylin meneruskan kalimatnya. "Kaki kamu jangan ditekuk gitu, nanti parises."

"Oh, iya, Lin. Makasih, ya, udah ingetin."

Tirta ikut meluruskan kakinya seperti yang Aylin lakukan, sembari menggoyang-goyangkannya pelan. 

"Aku udah lama nggak olahraga. Makanya jalan sedikit aja udah capek," jelas Aylin tanpa diminta. Selama dia merintis usaha lulur organik bersama Meylin, kegiatan olahraga hanya dilakukan sebulan sekali. Ruangan berbau harum--tempat produksi lulur itu--membuatnya enggan untuk pergi ke mana-mana. Aylin memang lebih suka berada di tempat produksi daripada harus duduk manis di kursi kantor.

"Capek banget, ya?" tanya Tirta yang terlihat prihatin karena Aylin seperti kesulitan mengatur napas.

"Nggak terlalu, sih." Aylin menarik napas sebelum melanjutkan kalimatnya yang terdengar menggantung. "Mungkin karena tadi malam aku tidurnya kurang, jadi gampang capek."

Aylin mengambil dua air mineral dan menyodorkan salah satunya ke Tirta. Tirta awalnya menolak, namun dengan paksaan Aylin, akhirnya Tirta mau menerimanya disertai senyum manis. Dia juga mengeluarkan tisu dan menghapus peluh dari dahinya. Tirta juga melakukan hal demikian.

"Emang tadi malem kamu tidur jam berapa?" tanya Tirta meneruskan topik pembicaraan.

"Jam satu."

"Kenapa kamu tidur malem-malem?" 

"Nggak bisa tidur, Ta. Karena terlalu bersemangat mau sepedahan, hehe." Kekehan renyah dari Aylin membuat Tirta ikut tertawa geli karenanya.

"Lusa kamu udah pulang, ya?" tanya Tirta setelah tawa keduanya mereda.

"Iya." Mendadak, suasana hati Aylin seperti berada di titik kurva terendah. Dia tidak ingin waktu berlalu begitu cepat, meninggalkan semua kenangan indah di tempat ini. Aylin ingin tinggal lebih lama, jika bisa.

"Setelah kamu pulang, saya pasti bakal kesepian." Tangan Tirta bergerak memainkan rumput, seperti menyalurkan rasa sedih karena tinggal hitungan jam mereka akan menyambut perpisahan.

Menyadari kegundahan yang terlihat dari raut wajah Aylin setelah dirinya mengucapakan perkataan itu, Tirta kemudian berkata lagi, "Pertemuan dan perpisahan itu memang dua hal yang nggak pernah terpisahkan dari kehidupan, ya, Lin."

Aylin yang tadinya menatap lurus ke depan, kini memberanikan diri untuk menoleh dan memandangi manik mata Tirta. 

"Saya nggak pernah nyangka kalau ketemu sama kamu rasanya sebahagia ini," lanjut Tirta.

Kerutan di dahi Aylin sudah cukup untuk menandakan bahwa gadis itu bingung dengan ucapan Tirta yang ambigu. Hati Aylin seperti mengalami konflik batin. Benaknya menyuruh untuk tidak terbawa perasaan, sedangkan hatinya berkata lain.

"Maksud saya, saya senang ketemu kamu," ucap Tirta yang kemudian membuang wajahnya ke lain arah, ketika sadar dirinya terlena dengan wajah Aylin yang mirip seperti wajah gadis yang ada di bayangannya. Dia tidak ingin Aylin merasa terganggu karena ucapannya yang terdengar seperti menaruh perasaan. Juga tidak ingin Aylin menjauh karena ucapan itu, bahkan sebelum perpisahan antara keduanya. 

Bagai dihempas setelah diterbangkan, Aylin tertawa hambar karenanya. 

Sementara, Tirta merasakan jantungnya berdetak kencang. Bukan karena efek usai mengayuh sepeda, melainkan karena perempuan yang kini duduk di sampingnya.

Aylin.

oOo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar