Jumat, 25 November 2022

Lauterbrunnen in Memories - 10 (End)




Sesuai janji, Tirta ingin menunjukkan lukisan pasangan berusia lanjut yang pernah dijanjikannya kepada Aylin. Baru kemarin malam Tirta bisa menyelesaikan lukisan itu setelah beberapa hari mereka lalui. Taman dekat Air Terjun Staubbach menjadi saksi bisu atas perpisahan mereka yang tinggal menghitung jam.

Pagi-pagi sekali, Tirta dan Aylin memiliki janji bertemu di taman tersebut. Tidak ada rasa canggung yang keduanya rasakan, bahkan setelah peristiwa kemarin. Entah mengapa, dengan jujurnya perasaan Tirta membuat beban yang ada dalam diri laki-laki itu terangkat. Walaupun Tirta tak bisa mengutarakan rahasia terpendamnya soal wajah Aylin yang mirip dengan lukisannya, setidaknya dia bisa lebih jujur soal perasaannya.


Tirta mengeluarkan lukisan seukuran buku tulis kampus, kemudian memberikannya pada Aylin. Perempuan itu menerimanya dengan senang hati. Pandangannya tak lepas dari lukisan indah itu.


"Kamu suka?" tanya Tirta terdengar samar-samar, kalah dengan suara air yang jatuh dari ketinggian di belakangnya.


"Suka, Ta. Bagus--"


"Luar biasa," Aylin mengoreksi ucapannya sendiri. Kemudian tersenyum kepada Tirta.


Setelah puas melihat, Aylin memberikan kembali lukisan itu kepada Tirta, namun tangan Tirta tak kunjung menyambut uluran tangannya.

"Buat kamu aja, Lin," kata laki-laki itu. "Sebagai tanda perpisahan dari saya."

Aylin menarik tangannya kembali. Dia memandang lukisan itu sambil mengucap, "Makasih, ya, Ta. Lukisan kamu bakal aku jaga dengan baik."

"Sama-sama."

Tirta baru ingat sesuatu. Dia belum mengembalikan foto polaroid milik Aylin yang dipinjamnya dulu. Lantas dia mencari foto itu dalam tasnya dan memberikan pada Aylin.

Aylin menggeleng cepat, mendorong tangan Tirta dengan perlahan. "Buat kamu aja. Sebagai tanda perpisahan juga."

"Makasih, ya, Lin."

"Aku yang harusnya berterima kasih banyak sama kamu."

Mereka menghabiskan sisa waktu yang mereka punya dengan sebaik-baiknya. Percakapan mengalir tanpa membiarkan kesunyian masuk di celah-celah mereka. 

"Tirta," panggil Aylin. Laki-laki itu langsung memusatkan atensinya pada Aylin. 

"Aku mau jujur sama kamu," sambung Aylin, mengambil kesempatan dari diamnya Tirta untuk melanjutkan kalimatnya.

"Aku ... juga suka sama kamu, Ta."

Baru hari ini, Aylin berani mengungkapkan isi hatinya setelah kemarin benaknya sibuk mencerna momen-momen yang terjadi. Bahkan Aylin kesulitan karenanya. Ada perasaan yang tak dapat didefinisikan. 

Lengkungan manis menggantung di bibir laki-laki itu setelah mendapat pengakuan dari Aylin. Dia tidak melakukan apa-apa selain itu.

"Tapi, satu hal yang harus kamu tau, Lin. Saya nggak pernah mau mengikat seseorang dalam sebuah hubungan, kecuali pertemanan dan pernikahan. Karena menurut saya, kalau saya belum sah menjadi milik seseorang, maka saya nggak berhak mencampuri kehidupan orang itu."

Aylin mengangguk setuju. Dia pun kurang lebih berprinsip seperti itu. Buat apa gonta-ganti pacar kalau ujung-ujungnya cuma jagain jodoh orang? Lebih baik pilih yang pasti untuk dijadikan pendamping hidup selama-lamanya.

Ucapan Tirta membuat dadanya berdesir halus. Laki-laki itu sangat menghargai seseorang, terutama perempuan. Layaknya menghargai mendiang ibunya yang sudah berada di pangkuan Tuhan.

"Kita teman, kan?" tanya Aylin memastikan, sembari mengacungkan jari kelingkingnya kepada Tirta. 

Tirta menaikkan kedua alisnya, sebelum akhirnya Aylin memberi kode kepada Tirta untuk menyatukan kedua kelingking mereka.

"Sahabat," sahut Tirta dan menautkan jari kelingkingnya pada kelingking Aylin. "Tapi, saya punya firasat, kita akan ketemu lagi suatu hari, entah di mana."

Tirta harap firasatnya kuat. Mengingat dia pernah membuat sketsa wajah gadis yang mirip dengan Aylin. Hal itu seperti memberinya pertanda akan ada benang merah pada takdir keduanya.

oOo

Waktu itu tiba. Waktu perpisahan itu berlangsung di hotel Aylin beserta kedua kakaknya. Barang-barang Aylin sudah siap semua, tinggal menunggu kakaknya yang masih berkutat dengan kegiatannya berkemas oleh-oleh. Aylin tidak tau kapan kedua kakaknya itu membeli oleh-oleh untuk keluarga mereka. Sebelum akhirnya Meylin memberitahu kalau dirinya dan Athar membelinya sewaktu bersepeda waktu itu.

"Rasanya masih betah tinggal di sini," kata Aylin tiba-tiba sambil merapatkan jaketnya dengan helaan napas yang terdengar berat.

"Kapan-kapan bisa ke sini lagi, Lin. Nanti kita janjian lagi, ya?" hibur Tirta. 

Mengingat jarak antara Indonesia dan Swiss cukup jauh, Aylin tidak dapat memastikan apakah dia bisa kembali ke tempat ini lagi atau tidak. Waktunya tersita untuk bisnis yang kian hari semakin berkembang. Bahkan, frekuensi traveling Aylin semakin berkurang. 

"Kalau saya udah di Indonesia nanti, saya bakal main ke Jakarta buat ketemu kamu."

"Beneran?" Aylin tersenyum lebar sampai gigi putihnya terlihat.

"Iya, Lin. Nanti kamu gantian ajak saya jalan-jalan, ya?" 

Aylin tertawa singkat. "Aku bakal ajak kamu keliling Jakarta. Tenang aja."

Setelah semuanya siap, semuanya berangkat, termasuk Tirta yang mengantar kepergian Aylin dan kedua kakaknya menuju stasiun. Meylin menangkap atmosfer di sekitar adiknya dan Tirta yang tak terasa hangat seperti sebelum-sebelumnya. Sebenarnya bagi Aylin, ini bukanlah perpisahan yang berat. Pertemuan singkat antara keduanya tentu membekas, namun, seperti ada sesuatu yang tertinggal di tempat ini. Yaitu kerinduan. Aylin yakin, dia akan rindu tempat ini dan berharap bisa kembali lagi suatu hari. 

Sampai di stasiun, Aylin meminta izin kepada Meylin dan Athar untuk berbicara berdua dengan Tirta, sembari menunggu kereta datang. Bukan membicarakan hal penting, hanya saja dia ingin bicara kepada laki-laki di sisa-sisa waktunya. Entah kapan dia akan bertemu Tirta lagi.

"Saya boleh telepon kamu nggak kalau kamu udah sampai di Jakarta?" tanya Tirta membuka pembicaraan. Keduanya menghadap ke rel kereta dengan pemandangan pegunungan yang berada di jauh di depan sana.

"Boleh, aku malah seneng dapat telepon dari kamu. Kalau bisa, kamu banyak-banyak cerita tentang Kota Bern, ya.  Siapa tau aku tertarik untuk datang ke sana."

"Pasti, Lin."

Terlihat kereta dari kejauhan yang perlahan semakin mendekat, dengan suara roda yang melindas rel menghasilkan getaran kecil di tempat keduanya berpijak.

"Yap, kereta perpisahan telah tiba." Aylin menatap kereta itu cukup lama, sebelum akhirnya membawa matanya menatap Tirta.

"Terima kasih untuk hari-harinya selama di Lauterbrunnen. Selamat tinggal, Ta," ujar Aylin dengan suara pelan, samar-samar terdengar bergetar. Namun, perempuan itu pandai menutupinya dengan senyuman hambar.

"Terima kasih juga, Lin. Selamat tinggal." 

Meylin sudah memanggil adiknya untuk bersiap-siap. Tirta mendengar itu mengangguk kecil pada Aylin, meyakinkan perempuan itu untuk mengambil langkah menuju kakaknya. 

Tidak ada pelukan perpisahan, bahkan berjabat tangan pun tidak dilakukan. Hanya ada lambaian tangan dari Tirta yang mengantarkan Aylin sampai masuk ke dalam kereta.

::  s e l e s a i  ::


Tidak ada komentar:

Posting Komentar