Jumat, 25 November 2022

Lauterbrunnen in Memories - 5

Tirta duduk di tepi ranjang dengan buku sketsa miliknya yang berada dalam genggaman. Pikirannya berkelana, mengingat sesuatu hal janggal dan terbilang aneh.

Di lembar buku sketsa yang dia buka, terdapat sketsa gadis yang belum sempurna. Belum ada warna. Hanya garis-garis yang membentuk wajah, yang samar-samar terlihat seperti Aylin. 

Tirta tidak mengerti bagaimana keanehan ini terjadi. Semesta itu luas, tapi entah mengapa dunianya terasa sempit. Tirta seperti mengalami déjà vu.

Bermula dari satu bulan lalu, di mana dia menggambar sosok gadis yang ada dalam pikirannya. Pensilnya bergerak seperti memiliki jiwa, dan terbentuklah sketsa yang belum sempurna tersebut. Tirta tak lagi meneruskan gambarnya, bahkan untuk memberinya warna saja dia tidak bisa. Tidak ada alasan khusus selain kehabisan inspirasi.

Lantas, liburan kali ini dia menyempatkan pergi ke suatu tempat, dengan tujuan untuk mencari inspirasi untuk gambarnya yang belum usai.

Sejak awal bertemu Aylin, benak Tirta tak henti-hentinya memikirkan gadis itu. Walaupun hanya samar-samar, Tirta tak pernah berpikir jika gadis yang ada dibayangannya seolah menjadi nyata. Menjadi hidup. Menjadi temannya.

Dia belum siap jika menceritakan semuanya kepada Aylin. Atau bahkan semua ini akan menjadi rahasia yang akan dipendamnya sendiri. Siapa juga yang akan percaya dengan keanehan yang terjadi dengannya? Dirinya sendiri saja tidak percaya.

Jari Tirta bergerak menelusuri permukaan gambar itu. Lantas dia mengambil pensilnya dari dalam tas dan menorehkannya pada sketsa tersebut, menyempurnakannya.

Alasan lain Tirta ingin melukis Aylin bukan semata-mata untuk memberikan perempuan itu kenang-kenangan darinya. Melainkan untuk membuktikan keanehan yang terjadi pada dirinya. 

Tatapan yang berlangsung lima detik itu, Tirta memindai setiap inci wajah Aylin. Bayangan abu-abu wajah gadis yang ada dalam benaknya perlahan menjadi jelas.

Tirta sama sekali tidak mengerti apa yang terjadi dengan dirinya, dengan semestanya, dengan semuanya. Bahkan sampai detik ini, benaknya masih mencerna memori yang dia lalui bersama Aylin. Tanpa Aylin sadari, Tirta selalu memperhatikan gadis itu. 

Mendadak jari Tirta berhenti menyempurnakan sketsanya. Dia menghela napas panjang, melempar pandangannya ke luar jendela. Baru ingat sesuatu, dia harus menyelesaikan lukisan Aylin dengan pemandangan Air Terjun Staubbach yang dibuatnya di taman siang tadi. Tirta tidak mau mengingkari ucapannya sendiri.

Lantas tangannya bergerak membuka tas dan mengambil kanvas tersebut. Kemudian mengambil peralatan melukisnya.

Menghadap ke jendela, Tirta melanjutkan lukisannya. Lukisan yang dia buat untuk Aylin. Untuk seseorang yang singgah di pikirannya sejak lama, bahkan sebelum pertemuannya dengan gadis itu di kereta.

oOo

Aylin merasa senang sekaligus sedih menyambut hari esok. Sisa-sisa harinya di Lauterbrunnen. Padahal, Aylin ingin lebih lama di sini. Bersama Tirta menyusuri semua tempat, bahkan di pelosok sekalipun. Namun, ada tanggung jawab yang membuatnya tak bisa tinggal lebih lama. Yang membuatnya harus kembali ke Jakarta, menjalani hari-hari biasa. Dan entah kapan bisa kembali lagi ke tempat ini. Aylin berharap secepatnya.

Hanya tempat ini yang bisa membuatnya berat ingin pergi, seolah ada sesuatu yang menahannya. Mungkin karena kehadiran seseorang yang membuat liburannya semakin berwarna. Tanpa ada rencana tak terduga, dia bisa bertemu seorang laki-laki berkebangsaan Indonesia. 

Tiba-tiba ponselnya berdering. Panggilan masuk dari Tirta. Aylin langsung mengangkatnya dengan pikiran yang menerka-nerka.

"Halo, Ta? Kenapa telpon aku malem-malem begini?" Aylin melirik jam dinding yang menunjukkan pukul delapan malam.

"Saya ganggu kamu, ya?"

"Nggak, kok."

"Saya mau ngasih lukisan yang tadi siang. Udah jadi, nih. Kamu bisa keluar hotel sekarang, nggak?" 

"Oke, Ta. Tunggu aku, ya!"

Selalu saja mendadak. Bukan kesal, Aylin justru senang bertemu Tirta untuk melihat hasil lukisannya. 

Dia keluar dari hotelnya dan menemui Tirta yang tengah berdiri memandangi sekitar, dengan lukisan yang dia bawa di dalam totebag berwarna abu-abu tua. 

"Hai, Ta," sapa Aylin.

"Nih, buat kamu." Tirta mengulurkan tangan, menyerahkan totebag berisi lukisan karyanya kepada Aylin. 

Perempuan itu menerimanya dengan senang hati. "Makasih banyak, ya." 

"Saya nggak ganggu kamu, kan, malem-malem begini?" tanya Tirta, memastikan untuk yang kedua kalinya.

Aylin menggelengkan kepalanya. "Ya ampun, nggak, Ta. Ada juga kamu yang harusnya terganggu ngasih ini malem-malem. Kenapa nggak besok aja?"

Tirta menanggapinya dengan mengangkat bahu. "Sebenarnya saya sekalian jalan-jalan malem, sih, Lin."

Aylin hanya ber-oh ria, kemudian mengangguk kecil. Keheningan kembali tercipta di antara mereka selama beberapa detik. Sebelum akhirnya Tirta kembali angkat bicara.

"Saya mau tanya sesuatu boleh?" tanyanya.

"Boleh."

Aylin bergeser sedikit, hingga tepat berada di samping Tirta. Laki-laki itu menoleh untuk melemparkan senyum singkatnya kepada Aylin. Detik berikutnya, pandangannya kembali lurus ke depan.

Jarak di antara mereka begitu dekat, hingga wangi parfum Tirta menyambut indra penciuman Aylin. Wanginya seperti biskuit dan kopi, juga ada campuran wangi ... mangga? Entahlah. Aylin tidak bisa mendeskripsikan dengan jelas wanginya seperti apa. Intinya, parfum yang digunakan oleh laki-laki itu beraroma segar dan tidak menusuk hidung.

Aylin mengusap pembatas jalan yang terbuat dari besi, merasakan sensasi dingin yang menusuk kulitnya. Sementara Tirta membebankan lengannya pada pembatas jalan tersebut.

"Aylin," panggil Tirta dengan lembut diiringi deru air yang jatuh menghantam sesuatu di bawahnya. Suara Air Terjun Staubbach.

"Iya?"

"Menurut kamu, aneh nggak sih kalau sesuatu yang kita bayangkan bisa jadi nyata?" tanya Tirta diakhiri dengan embusan napas panjang. Seperti melepaskan sesuatu dalam dirinya. Sebenarnya Tirta belum siap untuk cerita, hanya saja dia ingin mendengar pendapat dari lawan bicaranya--yang sekaligus inti dari pertanyaan yang diajukan.

"Nggak aneh, sih. Buktinya, aku bisa ke sini. Ke Lauterbrunnen. Padahal, dulu aku kira negeri dongeng di dunia nyata itu nggak ada. Tapi ternyata, Lauterbrunnen mematahkan pikiran aku."

Aylin memandangi Tirta yang ada di sampingnya. "Tirta, dengerin aku, ya. Nggak ada hal yang aneh di dunia ini, karena semuanya itu udah diatur Tuhan. Mungkin kamu belum bisa percaya sama apa yang terjadi sekarang, tapi itu takdir kamu. Nggak ada yang aneh dengan hal itu, Ta," Aylin menekan kata terakhir yang diulangnya. Dia sendiri tidak tahu masalah apa yang tengah terjadi dengan Tirta. Tapi, banyak keajaiban yang berdatangan dalam hidupnya, membuatnya sudah tidak terkejut dengan hal yang tiba-tiba, bahkan yang terasa aneh sekalipun.

Tirta terdiam sejenak. Mencerna kata-kata Aylin. Diam-diam hatinya membenarkan hal itu. Tapi, bukan bayangan yang seperti itu yang Tirta maksud. Bukan bayangan yang mirip seperti impian. Melainkan bayangan yang benar-benar tergambar dalam pikirannya. Bukan hanya sekadar angan-angan.

"Iya, Lin. Kamu bener. Mungkin ini emang takdir," sahut Tirta kemudian. Jika benar ini adalah takdir, itu artinya Aylin adalah bagian dari takdirnya. Tirta menggeleng lemah, berusaha menyingkirkan pikiran yang tidak-tidak dari benaknya.

Dia memutuskan untuk merahasiakan hal tersebut dari Aylin, mengurungkan niat untuk memberitahu gadis itu. Sampai kapanpun akan selalu menjadi rahasianya sendiri. Tidak ada yang tahu selain dirinya dan Tuhan.

Tirta mengintip arloji yang melingkar di pergelangan tangannya. Waktu bergulir dan hari semakin malam. Dia harus menyudahi percakapan dengan Aylin.

"Aylin, saya ke hotel dulu, ya. Kamu jangan malem-malem tidurnya. Besok, kan, kita mau sepedahan," pamit Tirta. 

"Oke. Hati-hati, ya." 

Mereka saling melambaikan tangan. Setelahnya, Aylin masuk ke dalam hotelnya dan Tirta melenggang pergi dari tempat itu dengan percakapan singkat tadi yang membuatnya larut dalam pikiran sendiri.

oOo

Aylin membuka totebag abu-abu pemberian Tirta tersebut. Dikeluarkan lukisan wajahnya yang telah usai.

"Bagus," puji Aylin. Kemudian menggeleng, tertawa singkat. "Luar biasa," koreksinya sendiri, mengingat ucapan Tirta.

Dibaliknya lukisan itu, terdapat tulisan kecil di tengah-tengah kanvas. Di sana tertulis: Aylin dan Air Terjun Staubbach. Begini asal-usul nama Air Terjun Staubbach:

Saat musim panas, angin akan berputar di sekitar air terjun sehingga membuat air menyembur ke segala arah bak debu beterbangan dan sekilas seperti berkabut. Semprotan air itu dijuluki staub yang berarti debu oleh masyarakat setempat. Inilah yang menjadi cikal bakal nama air terjun Staubbach Falls. Penjelasan ini saya ambil dari Google, ya. Semoga bisa dimengerti :)

Aylin tertawa singkat jadinya. Padahal, Aylin juga tidak pernah penasaran atau bertanya-tanya sejarah dari air terjun tersebut. Namun, Tirta dengan baik hati memberikannya penjelasan singkat yang diambilnya dari internet. 

"Aylin," panggil Meylin dari luar pintu kamar. Mendengar itu, Aylin langsung beranjak dari tepi ranjang, menaruh lukisan tersebut, kemudian menuju pintu dan membukakannya.

"Kenapa, Kak?"

"Kakak tidur di sini, ya. Soalnya Mas Athar ngoroknya kenceng banget. Nggak kuat kuping kakak dengernya," ujar Meylin berlalu begitu saja melewati tubuh Aylin yang masih mematung di ambang pintu.

"Nggak lagi berantem, kan?"

"Nggak, Ay. Ya ampun," jawab Meylin. 

"Wih, lukisan siapa nih? Ini muka kamu?" Meylin mencecar Aylin dengan pertanyaan ketika melihat lukisan di atas kasur. Dipandanginya lukisan itu, hingga matanya menangkap watermark di pojok kanan bawah. 

Meylin mengernyit, berusaha memahami watermark yang bertuliskan Tirta Amarta dengan gaya tulisan tegak bersambung.

"Tirta? Ini Tirta yang ngelukis?" 

"Iya, Kak. Aku belum cerita ya sama kakak. Jadi, tadi siang Tirta ngelukis aku di Taman Valleywaterfall. Katanya buat kenang-kenangan."

Meylin mengangkat pandangannya dari lukisan indah itu. "Kayaknya dia suka sama kamu, deh."

Sontak, Aylin memundurkan wajahnya yang bingung. "Kakak nih ngomong apa, sih? Nggak mungkin lah dia suka sama aku. Kita kan baru kenal. Cinta nggak bakal datang secepat itu."

Meylin gemas, menoyor kepala adiknya yang sok tahu tentang cinta itu. Padahal Aylin belum pernah berkencan dengan laki-laki manapun di usianya yang kini menginjak dua puluh satu tahun. 

"Kamu tau apa tentang cinta, hah?"

Yang ditanya hanya menunjukkan deretan gigi putih. "Ya, pokoknya Tirta tuh nggak suka sama aku, Kak. Kita cuma temenan."

"Lah, memang kalo temenan nggak bisa punya perasaan suka, gitu?" 

Aylin mengempit bibir, tak bisa berkutik. Karena pada dasarnya, dia tidak memiliki jawaban atas pertanyaan kakaknya itu. Entah mengapa, ucapan Meylin memunculkan perasaan senang yang menyelimuti hatinya saat ini.

oOo


Tidak ada komentar:

Posting Komentar