Jumat, 25 November 2022

Lauterbrunnen in Memories - 1


Aylin mengangkat kamera polaroid merah mudanya tinggi-tinggi, mencari view yang terbaik menurutnya. Tak jauh dari tempat ia duduk, menjulang tinggi Air Terjun Staubbach, yang merupakan air terjun bebas paling tinggi di Eropa. Entah sudah berapa kali Aylin berdecak kagum melihat keindahan air yang turun dari ketinggian kurang lebih tiga ratus meter dari lembah gantung. 


Air Terjun Staubbach itu berhasil diabadikan dalam foto polaroid yang keluar dari kamera mungil miliknya. 


Kini Aylin tengah berada The Bell Restaurant yang terletak di Auf der Fuhren. Dia sengaja memilih duduk di area outdoor agar dapat memanjakan mata dengan pemandangan yang tak akan pernah bosan dilihatnya. Sembari menikmati Swiss Tacos bersama seorang laki-laki berkebangsaan Indonesia yang tengah menempuh pendidikan di Kota Bern. Namanya Tirta. Liburan kali ini, laki-laki itu memilih Desa Lauterbrunnen untuk melepas penatnya hidup di kota. Sama seperti Aylin yang ingin refreshing dari kesibukannya mengurus bisnis lulur organik. Bisnis yang ia rintis bersama kakak perempuanya dua tahun lalu. Aylin dan Tirta tak sengaja bertemu di kereta, ketika keduanya hendak menuju ke tempat ini. Dan Aylin merasa beruntung akan hal itu.


Sudah lama Desa Lauterbrunnen ini tertulis dalam wishlist tempat yang ingin Aylin kunjungi. Aylin bisa datang ke sini juga karena ikut berlibur bersama kakak perempuannya--Meylin--yang tengah honeymoon dengan suaminya--Athar. Aylin merasa hanya menjadi nyamuk di antara mereka berdua. Tapi, bukan berarti mereka bertiga satu kamar. Aylin berada di kamar yang berbeda tentu saja. 


Waktu kecil, Aylin pernah memiliki impian ingin pergi ke negeri dongeng. Kemudian dia akan bertemu pangeran tampan dan menikah dengannya. Bahagia selamanya.  Kini impiannya terwujud, walaupun tak sesuai ekspektasinya. Tetapi baginya, Desa Lauterbrunnen adalah negeri dongeng di dunia nyata. Tidak ada pangeran, yang ada hanya bahagia.


Di sela-sela makannya, Aylin mengambil sesuatu dari tas ranselnya. Sebuah buku catatan bersampul coklat yang tertera tulisan Kisah Aylin dan Alam di tengah-tengahnya. 


Foto polaroid keindahan Air Terjun Staubbach tadi ditempel dalam buku catatan tersebut, kemudian Aylin mengeluarkan pulpennya. Dia menuliskan sesuatu di sana,


Air Terjun Staubbach dengan perasaan euforia yang tengah memenuhi ruang hatiku. 


"Kamu nulis apa?" tanya Tirta tiba-tiba ketika dia sudah menyelesaikan kunyahan di mulutnya. 


Aylin yang tengah tersenyum memandangi catatan barunya, mengangkat pandangannya. "Oh, ini. Aku kalau lagi traveling suka nulis catatan, semacam jurnal perjalananku gitu, deh. Biar kalau udah tua bisa inget-inget lagi, aku pernah ke tempat tersebut." 


"Saya boleh lihat?" 


Aylin mengangguk dan memberikan buku tersebut kepada Tirta. Laki-laki itu menyingkirkan piringnya ke samping, agar tidak mengenai buku catatan milik Aylin.


Tirta membuka halaman sebelumnya dan membacanya dengan serius. Di lembar itu terdapat foto pemandangan Desa Lauterbrunnen di Swiss yang diambilnya dari atas tebing sewaktu mengunjungi Air Terjun Trümmelbach. Air terjun yang tersembunyi di antara tebing-tebing pegunungan.


Di bawah foto Desa Lauterbrunnen yang diambil dari atas tebing tadi, Aylin menuliskan deskripsi mengenai keindahan desa itu. Beberapa di antaranya, ia dapatkan dari Google sebagai pelengkap tulisannya.


Desa Lauterbrunnen terletak di sebelah tenggara kota Bern dan berada di sepanjang kaki pegunungan batu yang membentuk huruf U. Dikelilingi tiga gunung besar di Swiss yang masuk dalam bagian pegunungan alpen, yaitu Eiger, Monch dan Jungfrau. Seolah kombinasi itu belum cukup, bagian inti yang paling indah menurutku adalah, desa ini dihiasi dengan tujuh puluh dua air terjun. Tempat ini adalah negeri dongeng di dunia nyata. Sungguh!


"Kamu udah pernah ke Raja Ampat juga, ya?" tanya Tirta ketika membuka halaman pertama catatan Aylin. Di halaman itu terdapat foto keindahan Raja Ampat di Papua, tempat di mana jiwa traveling-nya mulai tumbuh. Karena sepulang dari sana, Aylin merasa damai dan tentram ketika menyatu dengan alam, ciptaan Tuhan Yang Maha Agung. Membuat dirinya ingin kembali mengunjungi wisata alam yang tersebar seantero dunia.


"Iya, itu awal mula perjalanan aku mengunjungi tempat wisata alam di dunia."


Sinar matahari keemasan menyinari wajah Tirta. Aylin melihat laki-laki itu dengan seksama. Penampilannya sederhana, namun tak terlihat membosankan bila dipandang lama. Mungkin itu karena efek lesung pipi yang cukup dalam terlihat ketika dia tersenyum. Kali ini Tirta memakai long coat berwarna hitam dengan syal kotak-kotak yang terlilit di lehernya. Suaranya ramah, selalu menggunakan saya-kamu. Sefrekuensi dengan Aylin yang merasa canggung ketika bicara dengan bahasa lo-gue. Karena dalam kesehariannya, Aylin juga menggunakan aku-kamu kepada teman-temannya.


Tirta mengangkat wajahnya sebentar, sebelum akhirnya kembali fokus kepada buku catatan Aylin dalam genggamannya. "Keren, saya jadi mau ke tempat yang kamu kunjungi. Ke Raja Ampat aja saya belum pernah." 


"Kapan-kapan ke sana, yuk? Kalo kamu pulang ke Indonesia," ajak Aylin. 


"Bareng sama kamu?"


"Kalo kamu mau."


"Boleh."


Tidak ada percakapan lagi setelah itu. Tirta kembali melanjutkan kegiatannya membaca buku catatan Aylin.


Sementara Aylin, merasa tangannya gatal, ingin mengambil gambar di tempat ini sebanyak-banyaknya. Pada akhirnya, dia mengambil kembali kamera polaroid yang tergeletak di atas meja. Aylin memutar tubuhnya ke samping, dan mengarahkan kameranya untuk mengambil gambar pegunungan yang terlihat indah dari kejauhan. Tak sengaja, pasangan berusia lanjut yang tengah bergandeng tangan sembari tertawa tertangkap oleh kameranya. Membuat senyum Aylin merekah semakin lebar ketika foto polaroid tersebut keluar. 


"Tirta, Tirta. Lihat deh, aku nggak sengaja foto kakek nenek ini. Romantis banget, ya." 


Aylin menunjukkan fotonya kepada Tirta. Laki-laki itu menaruh buku catatan Aylin di atas meja, dan menerima uluran tangan gadis itu.


"Ini keren banget, boleh saya pinjem?"


Gadis itu mengernyit jadinya. "Buat apa?" tanyanya dengan nada menggantung.


"Mau saya lukis. Bakal saya kembaliin, kok. Tenang aja."


"Kamu jago ngelukis, ya?"


"Bukan jago, cuma suka," jawab Tirta cepat dengan tangan yang terulur memberikan kamera polaroid itu kepada Aylin. Setelahnya, dia membaca kembali buku bersampul coklat itu, seolah ingin membaca keseluruhannya.


"Kalo kamu mau baca bukuku sampe habis, bawa aja. Besok, kita ketemu lagi di sini," ujar Aylin dengan hati-hati, takut mengganggu ketenangan Tirta yang tengah asyik membaca. 


"Boleh?" 


"Ya bolehlah, Tirta. Kan, aku yang nawarin. Gimana, sih." 


"Kamu ada waktu nggak nanti malam?" 


"Ada, Ta. Kenapa?"


"Saya mau ajak kamu jalan keliling desa nanti malem. Kalau malem hari, pasti langitnya bagus."


Aylin mengangguk cepat dengan perasaan bahagia. Dia akan sangat menantikan malam ini.


Sore itu, mereka berdua menghabiskan waktu di restoran, menikmati matahari yang perlahan turun sampai bersembunyi di balik pegunungan. 


oOo


pict cr: pinterest

Tidak ada komentar:

Posting Komentar