Jumat, 25 November 2022

Lauterbrunnen in Memories - 2


Suara decitan pintu dibuka membuat Aylin yang tengah menulis sebuah puisi akhirnya menoleh ke asal suara. Terlihat Meylin mengenakan mantel berbulunya, dengan Athar di samping perempuan itu.


"Ay, kakak mau jalan-jalan dulu, ya, sama Mas Athar. Kakak minjem kamera kamu dong. Buat foto-foto," ujar Meylin yang kini berdiri di ambang pintu bersama Athar. 


"Kakak mah kebiasaaan. Kalo mau masuk, ketuk dulu, baru buka. Kamera Aylin mau dipake, soalnya mau jalan sama Tirta."


Air muka Meylin langsung berubah, dengan senyum yang ikut terkembang dari bibir mungilnya. "Cie, cie. Baru sehari di sini udah deket aja nih sama cowok."


"Gas, Ay, hahaha." Athar ikut tertawa, membuat dahi Aylin berkerut seperti kulit siomay.


"Maksud kalian apa, sih? Kan, Aylin cuma mau jalan-jalan malem doang?"


"Ya udah jalan-jalan aja sana. Tapi kakak pinjem dulu kameranya. Sebagai gantinya, nanti kakak beliin kamu croissant, deh."


Aylin mendesis sebal, sebenarnya hanya pura-pura sebal. Dia lantas beranjak dari duduk dan mengambil kameranya dari dalam tas yang ditaruh di atas nakas, kemudian memberikannya kepada Meylin. 


"Makasih, cantik," kata Meylin. Adik kecilnya hanya merespon dengan memutar bola matanya.


"Ya udah sana. Puas-puasin mesra-mesaraanya." 


Aylin mengibaskan tangannya, seperti gerakan mengusir. Namun, diiringi dengan tawa. Setelah keduanya pergi, Aylin kembali menutup pintunya. Bersamaan dengan itu, suara ponselnya berbunyi. 


Dengan gerakan cepat, Aylin menuju ke sumber suara itu berasal. Layar ponselnya kini menunjukkan panggilan dari Tirta. Segera ia mengangkatnya.


"Halo?" kata Aylin yang lantas membasahi bibirnya.


"Saya di luar hotel kamu. Keluar, ya. Sesuai janji, saya mau ajak kamu jalan-jalan."


Mendengar itu, refleks Aylin memanjangkan lehernya agar dapat melongok ke jendela. Terlihat di bawah sana Tirta tengah berdiri menunggunya. Kemudian dia menarik kepalanya kembali. "Kasih aku waktu lima menit. Aku mau siap-siap dulu."


"Oke."


Atas persetujuan itu, Aylin lantas mematikan panggilannya dan segera bersiap untuk jalan-jalan malam mengelilingi Desa Lauterbrunnen bersama Tirta. Dia tidak berekspektasi tinggi, karena suasana di sekitar gelap dan sepi. Hanya ada lampu jalan yang minim penerangan dan lampu dari bangunan sekitar yang tak banyak membantu. Aylin berharap, malam ini bisa berkesan walau tanpa kamera kesayangannya.


Kini Aylin bersama Tirta berjalan beriringan, menyusuri Desa Lauterbrunnen di gelapnya malam. Aylin sempat berpikir, keadaan desa ini di malam hari tidak seindah seperti waktu siang. Di mana semuanya terlihat jelas, bermandikan cahaya matahari. Namun, dirinya salah. Karena dengan penerangan yang minim, justru bintang-bintang yang bertaburan di atas langit Lauterbrunnen terlihat jelas. Tidak ada polusi cahaya seperti di kota-kota besar. 


Baru kali ini Aylin sangat takjub melihat bintang yang sungguh luar biasa indahnya. Karena di Jakarta, Aylin jarang sekali melihat pemandangan seindah ini. Terkadang, langit malam di ibukota Indonesia itu tidak nampak bintang sama sekali. Hanya ada bulan yang seperti selalu mengikuti langkahnya kemanapun dia pergi.


Sayangnya Aylin tidak membawa kamera merah muda miliknya. Sedikit banyak dia berharap, kakaknya mau mengambil gambar langit malam yang indah ini untuk dirinya. 


"Langitnya bagus, ya?" Aylin sebenarnya hanya bergumam, namun seseorang di sampingnya tak sengaja dengar.


"Kayaknya kata bagus aja kurang. Apa kata yang lebih daripada bagus?" tanya Tirta. 


"Bagus banget?" jawab Aylin yang lebih menjurus kepada pertanyaan. Sebelah alisnya ikut terangkat.


"Luar biasa kayaknya cocok," jawab Tirta.


Aylin tertawa kecil. "Oh, ya. Luar biasa."


Aylin menghentikan langkahnya di parkiran mobil sebuah hotel, diikuti oleh Tirta yang juga berhenti dan berdiri di sampingnya. Dari tempat itu, hamparan luas rumput terlihat dengan kondisi tanah yang miring. Pandangannya terbatas pada tebing yang punggungnya dipenuhi pepohonan. Jikalau siang hari, pemandangan ini pasti terlihat sangat indah. 


Setelahnya, hening menguasai suasana. Aylin tak bisa hanya memandang ke satu sisi. Namun, yang menyita perhatiannya lagi-lagi Air Terjun Staubbach yang terlihat bersinar berkat penerangan dari salah satu bangunan. 


"Aylin, kamu lebih suka bulan atau bintang?" tanya Tirta yang merobek kesunyian di antara mereka. 


"Bintang."


"Kira-kira bintang kalau ditawar berapa, ya, harganya?"


Aylin mengernyitkan dahi, lantas tertawa. "Maksud kamu apa?"


"Saya cuma pengen beli bintang buat nerangin Lauterbrunnen. Tau lagu Ambilkan Bulan Bu?"


"Tau, dong. Bisa dibilang itu lagu favoritku waktu kecil. Kenapa?"


"Saya dulu sering nyanyiin lagu itu ke Ibu saya. Tapi, sampai sekarang Ibu saya nggak pernah ngasih bulan itu ke saya." 


Tawa Aylin kembali pecah. Tirta yang terlihat tenang, ternyata cukup jenaka juga. Atau mungkin, laki-laki itu hanya tidak ingin malam yang indah ini terlewatkan begitu saja tanpa adanya percakapan. Tapi bagi Aylin, Tirta adalah orang yang asyik untuk menjadi guide-nya suatu hari jika dia berkesempatan mengunjungi Ibukota Swiss, Kota Bern. Kota yang menjadi tempat tinggal Tirta sementara selama di Swiss.


"Kamu mau saya lukis nggak, Lin?" 


Pertanyaan tiba-tiba yang terlontar dari mulut Tirta itu membuat Aylin yang tengah khidmat menikmati pemandangan Air Terjun Staubbach, menoleh. Senyumnya perlahan memudar karena reaksi terkejutnya. Entah ini murni terkejut atau apa, tapi Aylin merasa canggung jika wajahnya dilukis dengan orang yang baru dia kenal beberapa hari ini. 


Yang ada dibayangannya adalah, dirinya akan selalu diperhatikan setiap saat oleh sang pelukis. Juga akan ditatap dengan intens demi detail-detail agar lukisan yang dihasilkan terlihat seperti nyata. Dan hal itulah yang membuat Aylin merasa gugup.


"Kenapa kamu mau ngelukis aku?" Aylin sepertinya butuh alasan terlebih dulu, sebelum memberikan persetujuan.


"Buat kenang-kenangan. Nanti lukisannya buat kamu."


Pandangan beredar ke atas langit, seperti mencari jawaban di atas sana. Sebelum akhirnya memutuskan untuk menjawab tawaran Tirta.


"Nggak ngerepotin kamu, kan, tapi?" tanya Aylin. Sedikit ragu. Dia meraba pembatas yang terbuat dari besi, seperti menyalurkan rasa ragunya.


"Nggak, justru saya malah seneng ngelukis kamu. Anggap aja, ini sebagai imbalan karena kamu udah minjemin buku kamu yang keren itu sama saya." 


Aylin akhirnya mengangguk dengan ujung bibir yang terangkat, membentuk senyuman. Tirta membalas senyumnya, beriringan dengan munculnya lesung pipi yang menambah kesan manis di wajah laki-laki itu.


"Kalo gitu, kita jalan lagi, yuk?" Tirta merapatkan jaket kulitnya sambil menghela napas panjang. Keduanya melangkahkan kaki, beranjak dari tempat itu.


oOo


pict cr: pinterest


Tidak ada komentar:

Posting Komentar