Jumat, 25 November 2022

Lauterbrunnen in Memories - 9

Perjalanan panjang menuju pegunungan berselimut salju itu diisi dengan percakapan ringan. Sesekali Athar dan Meylin kompak menggoda dua insan yang kian hari semakin nampak dekat. 

Kini mereka telah sampai di tempat tujuan. Mata mereka langsung disuguhkan oleh hamparan putih salju abadi dan tak lekang oleh masa. Hawa dingin menyambut keempatnya, beserta angin yang menusuk kulit mereka. Namun, hal itu tak menyurutkan semangat mereka untuk bermain ski. 

Aylin menaikkan tudung jaket kulitnya ke kepala. Melanjutkan berjalan ke tempat penyewaan peralatan bermain ski bersama Tirta dan kedua kakaknya. 

"Kamu kedinginan, ya?" tanya Tirta. Dia hanya takut tubuh perempuan itu belum bisa beradaptasi dengan suhu di tempat ini.

"Iya, dingin."

"Kaya di Bandung, nggak?"

Aylin menggeleng sambil tertawa. Menanggapi pertanyaan Tirta yang jenaka. Langkahnya berhenti tatkala Tirta yang ada di sampingnya berhenti dan membungkuk untuk mengambil segenggam salju yang nampak seperti es serut.

Tirta yang terlihat kebal, memegang gumpalan salju itu dengan tangan telanjang. 

"Kamu mau nyoba megang? Ini keras, lho."

Aylin menyentuh bola-bola salju itu menggunakan jari telunjuknya. Dingin merambat di jarinya, membuatnya kembali menarik tangan. Tak ingin memegang. Jangakan salju, Aylin bahkan tak pernah kuat jika ditantang Meylin untuk menggenggam es batu. 

"Ngga, ah. Dingin. Nggak kuat." 

Tirta kemudian menjatuhkan gumpalan salju tersebut begitu saja setelah Aylin menolak untuk memegangnya.

Kini keempatnya sudah menyewa masing-masing peralatan ski lengkap beserta pakaiannya yang berbahan waterproof. 

"Kamu bisa main ski, Ta?" tanya Aylin ketika Tirta tengah mengganti sepatunya dengan sepatu ski. 

Tirta mendongak untuk menghadap perempuan itu. "Kalo musim dingin sering, sih, main," katanya, kemudian melanjutkan memasang sepatu skinya kembali.

"Kak Athar bisa?" Kini Aylin berganti menghadap Athar yang terlihat sudah siap untuk meluncur menuruni bukit salju yang tak terlalu curam.

"Beuh, itu mah jangan ditanya," jawab Athar. 

Yang kemudian mengundang Aylin untuk bertanya lagi. "Bisa?"

Athar menggeleng cepat, membuat derai tawa keempatnya pecah. 

"Ta, nanti ajarin aku main ski, ya," pinta Aylin ketika Tirta sudah menyelesaikan persiapannya. 

"Tanpa kamu minta juga saya bakal ajarin kamu, Lin." 

"Makasih, ya, Ta."

Kemampuan Tirta dalam bermain ski membuat Aylin mengacungkan kedua ibu jarinya. Laki-laki itu melesat menuruni bukit salju yang lumayan curam layaknya pemain ski profesional. Athar ikut menuruni bukit itu dengan bantuan Tirta, walaupun beberapa kali gagal dan berakhir dengan tawa di antara keempatnya.

"Ta, aku deg-degan." keluh Aylin kala Tirta tengah mengajarkannya bermain ski. Napas Aylin tak beraturan disertai jantung yang berdegup kencang, mengingat Athar yang tergelincir tadi. Dia hanya takut tak bisa mengendalikan kecepatannya, berakhir dengan meregang nyawa. Kan, tidak lucu. Namun, Aylin dengan cepat mengusir pikiran buruk itu. Sebab rasa penasarannya terlanjur mendominasi.

"Pelan-pelan aja." 

Aylin mengangguk, merasa yakin. Kemudian dia mencoba untuk percaya diri ketika menuruni hamparan salju miring, namun tak terlalu coba.

Matanya terpejam ketika papan ski itu mulai bergerak membawa tubuhnya dalam pengalaman baru. Aylin mulai membuka matanya dan merasakan udara dingin menabrak tubuhnya ketika melesat dengan kecepatan sedang.

Sebuah gundukan salju membuat papan skinya bergerak tak seimbang. Aylin tak mampu menyeimbangkan papan skinya dan terjatuh dengan tidak cantik. Bibirnya mencium salju yang menjadi alasnya. Dingin merembet cepat, membuat Aylin buru-buru bangkit dan menutup mulutnya.

Tirta yang melihat itu dari kejauhan, segera menghampiri Aylin dengan langkah tergesa. Mulutnya terbuka sedikit dengan alis yang berkerut, menandakan bahwa dia khawatir.

"Aylin!" seru Tirta dari kejauhan. 

"Ada yang sakit nggak?" tanya laki-laki itu ketika sudah sampai di hadapan Aylin. Tangannya bergerak aktif memeriksa anggota badan Aylin mulai dari tahan hingga kaki. 

Aylin malah tergelak. Detik berikutnya, dia menghempaskan tubuhnya ke salju. "Seru! Aku nyium salju, dingin. Hahaha!" 

Meylin dan Athar juga menghampiri Aylin yang tengah tidur di sembarang tempat sambil tertawa.

"Tapi, nggak ada yang sakit, kan?" Tirta masih khawatir dengan keadaan Aylin, tidak terpengaruh dengan tawa perempuan itu.

"Nggak, Ta. Nggak ada yang sakit."

Tirta menghela napas panjang, lega. 

"Kamu kenapa tiduran gitu, deh?" tanya Meylin yang masih belum mengerti apa yang terjadi dengan adiknya sampai tertawa begitu. Yang dia tau hanya Aylin jatuh karena bermain ski. Itu saja. Jika saja Meylin dan Athar melihat kejadian yang memalukan itu, pastilah suatu saat momen itu akan menjadi bahan olok-olokan.

"Lemes, Kak. Sakit perut karena ketawa." Aylin memegangi perutnya yang terasa kram karena tertawa kencang. 

Tirta menggeleng kepalanya sambil tersenyum. Dia tidak bisa tertawa di atas penderitaan orang lain. Padahal orang lain itu justru tertawa di atas penderitaannya sendiri.

oOo

Pegunungan berselimut salju terpampang dari berbagai sisi. Hamparan salju tak ada habisnya tertangkap mata. Namun anehnya, tak menimbulkan rasa bosan sama sekali bagi Aylin maupun Tirta. Keduanya kini tengah berdiri pada sebuah tempat, di mana dari sana mereka bisa melihat pemandangan indah itu. Sementara Meylin dan Athar berada di tempat berbeda karena masih asyik bermain ski.

Embusan angin menerpa semua pengunjung di sana, merasakan hawa dingin yang menyelimuti sekitarnya.

Aylin sibuk memotret pemandangan di depannya, seperti tak ada habisnya. Padahal, sudah lima foto polaroid yang diambil dengan pemandangan yang sama. Jika kamera polaroid tersebut bisa bicara, pastilah benda itu akan mengeluh. 

"Aku masih nggak percaya ada tempat seindah ini di bumi," kata Aylin. Siapapun yang melihat pemandangan di hadapannya itu tak akan mampu mengelak pesona yang disuguhkan oleh alam.

"Luar biasa," komentar Tirta singkat, sembari menaikkan kacamata hitamnya ketika menatap Aylin yang berada di sampingnya. Kacamata hitam sangat dibutuhkan ketika melihat putihnya salju di siang hari seperti ini untuk membantu penglihatan.

"Aylin," panggil Tirta pelan. Matanya tak lepas melihat sosok perempuan yang tengah sibuk dengan kameranya itu.

"Iya?" Aylin menoleh. Lantas menurunkan tangannya yang tengah memegang kamera polaroid. Jika saja keduanya tidak memakai kacamata hitam, pasti Aylin sudah gugup menangkap kedua mata Tirta menatapnya begitu intens. 

"Kalo saya bilang saya suka sama kamu gimana?"

Aylin mengernyitkan dahi, kemudian tertawa hambar. Dia bingung harus bereaksi apa. "Jangan bercanda." Hanya itu yang bisa terlontar dari mulut Aylin.

"Saya serius. Saya suka sama kamu, Lin," kata Tirta dalam. Aylin merasa oksigen di sekitar berkurang, membuatnya napasnya tercekat. Aylin tidak tahu, mengapa perkataan seseorang bisa berpengaruh pada organ tubuhnya. Seperti ada sesuatu yang menyelinap masuk tanpa perintahnya. Belum pernah dia merasakan seperti ini sebelumnya.

"Saya cuma mau jujur soal perasaan saya ke kamu. Kamu nggak perlu jawab apa-apa. Saya juga nggak minta kamu balas perasaan saya. Yang penting saya udah jujur sama diri saya sendiri dan kamu, orang yang bersangkutan, tau hal itu."

Aylin yang diam seribu bahasa, akhirnya menyunggingkan senyum, juga Tirta yang melakukan hal yang sama. Senyum yang hanya dimengerti oleh keduanya. Biarlah hari ini menjadi hari yang terindah sebelum hari esok tiba.

Setidaknya, pertemuan singkat ini memberikan memori indah sebelum menyambut perpisahan. 

oOo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar